MAU DUIT?!!!

Sabtu, 24 Maret 2012

HUKUM PIDANA

                                                                        
1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945;
b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi;
c. bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam
masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi;
2
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c
perlu dibentuk Undang-undang yang baru tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai Negeri adalah meliputi :
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
Kepegawaian;
3
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan
dari keuangan negara atau daerah; atau
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
4
Pasal 4
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 3.
Pasal 5
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah).
Pasal 6
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 7
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387
atau Pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah).
Pasal 8
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
5
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 10
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 11
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 12
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419,
Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut,
6
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 14
Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan
bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana
korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan,
kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi` tindak pidana korupsi dipidana
dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 17
Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5
sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 18
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang
tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana
7
korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Pasal 19
(1) Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan
terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan
dirugikan.
(2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga
barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat
mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu
paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka
untuk umum.
(3) Pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
8
(4) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim meminta keterangan
penuntut umum dan pihak yang berkepentingan.
(5) Penetapan hakim atas surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
dimintakan kasasi ke Mahkaman Agung oleh pemohon atau penuntut umum.
Pasal 20
(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau
pengurusnya.
(2) Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke
sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus
di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan
ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN
DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
9
Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 22
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36
yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak
benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 23
Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undangundang
Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 24
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp
150.000.000,000 (seratus lima puluh juta rupiah).
BAB IV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN,
10
DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 25
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak
pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
Pasal 26
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-undang ini.
Pasal 27
Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat
dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.
Pasal 28
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Pasal 29
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan,
penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
(2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
11
(3) Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung
sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap.
(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir
rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti
yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu
juga mencabut pemblokiran.
Pasal 30
Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos,
telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara
tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.
Pasal 31
(1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat
pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas
pelapor.
(2) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
Pasal 32
(1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak
pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata
atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
(2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk
menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
12
Pasal 33
Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 34
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut
umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan
gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 35
(1) Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu,
kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa.
(2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh
terdakwa.
(3) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberikan
keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
Pasal 36
Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga
terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus
menyimpan rahasia.
Pasal 37
13
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan
baginya.
(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya, maka keterangan
tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Pasal 38
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan
tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka
terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan
dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum
pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan
kepada kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti
yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi,
maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang
yang telah disita.
(6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat
dimohonkan upaya banding.
14
(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan
yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 39
Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk
pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
Pasal 40
Dalam hal terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di lingkungan
Peradilan Militer, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf
g Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak dapat
diberlakukan.
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 41
(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam
bentuk :
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan
informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak
hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
15
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan
sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung
jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
(4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma
agama dan norma sosial lainnya.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa
membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana
korupsi.
(2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
16
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 43
(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku,
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang
melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur
Pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja,
pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1). ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-undang.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Nomor 19,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
17
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR: 140
18
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
UMUM
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan
masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia
yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan
usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak
pidana korupsi pada khususnya.
Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk
memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin maningkat, karena
dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang
sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai
bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin
ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kepentingan masyarakat.
Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi
dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka
mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang
sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta
masyarakat pada umumnya.
19
Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,
yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
(a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga
Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
(b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang
menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan
Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri
yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan
rakyat.
Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau
perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur
dalam Undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatanperbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara “melawan
hukum” dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian
melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan
tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Dalam Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak
pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil
yang dianut dalam Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada
negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.
Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang ini adalah korporasi sebagai
subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalam
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.
Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas
tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda
dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum
khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan
pemberatan pidana. Selain itu Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi
20
pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang
pengganti kerugian negara.
Undang-undang ini juga memperluas pengertian Pegawai Negeri, yang antara lain adalah
orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari Negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan
istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak
wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea
masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Hal baru lainnya adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya,
maka tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, sedangkan proses
penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu
penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari
tersangka atau terdakwa.
Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana
korupsi, Undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim
sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan
hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia.
Di samping itu Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat
terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan,
dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat
berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan
perlindungan hukum dan penghargaan.
Selain memberikan peran serta masyarakat tersebut, Undang-Undang ini juga
mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan
diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun
21
sejak Undang-undang ini diundangkan. Keanggotaan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti dengan Undang-undang ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam
ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian
negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya
tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai
pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan
pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku,
pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi,
atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Pasal 3
Kata “dapat” dalam ketentuan ini diartikan sama dengan Penjelasan Pasal 2.
Pasal 4
Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal
3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan
22
negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak
pidana tersebut.
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan
salah satu faktor yang meringankan.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Dalam ketentuan ini, frasa “Angkatan Laut atau Angkatan Darat” yang dimuat dalam Pasal
388 KUHP harus dibaca “Tentara Nasional Indonesia”.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku dalam Undang-undang ini” adalah baik
hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil.
23
Pasal 15
Ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan
pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman
pidananya.
Pasal 16
Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang
bersifat tradisional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer
keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antar negara dapat dicegah secara
optimal dan efektif.
Yang dimaksud dengan “bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan” dalam
ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Yang dimaksud dengan “penutupan seluruh atau sebagian perusahaan” adalah
pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan
putusan pengadilan.
huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
24
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim setelah eksekusi, maka negara
berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang atas
barang tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yang menjalankan
kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk
mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan
korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
25
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang oleh Undang-undang ditentukan untuk
didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan pada tiap
lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan.
Pasal 26
Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan
(wiretaping)
Pasal 27
26
Yang dimaksud dengan “tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya”, antara lain
tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan
industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang :
a. bersifat lintas sektoral;
b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih; atau
c. dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara
sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, kolusi, dan Nepotisme.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan penuntutan,
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memperhatikan koordinasi lintas
sektoral dengan Instansi terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan”rekening simpanan” adalah dana yang dipercayakan oleh
masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro,
deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan
itu, termasuk penitipan (custodian) dan penyimpanan barang atau surat berharga
(safedeposit box).
Rekening simpanan yang diblokir adalah termasuk bunga, deviden, bunga obligasi, atau
keuntungan lain yang diperoleh dari simpanan tersebut.
27
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada penyidik dalam
rangka mempercepat proses penyidikan yang pada dasarnya di dalam Kitab Undangundang
Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa atau menyita surat harus
memperoleh izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelapor” dalam ketentuan ini adalah orang yang memberi
informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan
bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah
kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang
berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “putusan bebas” adalah putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan “ahli waris” dalam Pasal ini adalah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 34
28
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Yang dimaksud dengan “petugas agama” dalam Pasal ini adalah hanya petugas agama
Katholik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang dipercayakan untuk menyimpan
rahasia.
Pasal 37
Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan
dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat
membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut
umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini
merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib
membuktikan dakwaannya.
Pasal 38
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara sehingga
tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “putusan” yang diumumkan atau diberitahukan adalah petikan
surat putusan pengadilan
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
29
Ketentuan dalam ayat ini, dimaksudkan pula untuk menyelamatkan kekayaan negara.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga yang beritikad baik.
Batasan waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksudkan untuk menjamin dilaksanakannya
eksekusi terhadap barang-barang yang memang berasal dari tindak pidana korupsi.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “mengkoordinasikan” adalah kewenangan Jaksa Agung sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991
tentang Kejaksaan.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
30
Cukup jelas
Huruf e
Perlindungan hukum terhadap pelapor dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi
pelapor yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Penghargaan kepada masyarakat yang berjasa dalam mengungkap tindak pidana korupsi
dengan disertai bukti-bukti, diberikan penghargaan baik berupa piagam maupun premi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 3874


UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1997
TENTANG
PENGADILAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang
merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang;
b. bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan
dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan
memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan
secara khusus;
c. bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum, pengkhususan pengadilan anak berada di lingkungan Peradilan Umum dan
dibentuk dengan Undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, dan c, perlu membentuk Undang- undang
tentang Pengadilan Anak;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Anak Nakal adalah :
a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.
3. Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat Pemasyarakatan, dan Klien
Pemasyarakatan adalah Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat
Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
4. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah
Tahanan Negara atau di tempat tertentu.
5. Penyidik adalah penyidik anak.
6. Penuntut Umum adalah penuntut umum anak.
7. Hakim adalah hakim anak.
8. Hakim Banding adalah hakim banding anak.
9. Hakim Kasasi adalah hakim kasasi anak.
10. Orang tua asuh adalah orang yang secara nyata mengasuh anak, selaku orang tua terhadap anak.
11. Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan yang
melakukan bimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
12. Organisasi Sosial Kemasyarakatan adalah organisasi masyarakat yang mempunyai perhatian khusus
kepada masalah Anak Nakal.
13. Penasihat Hukum adalah penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 2
Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 3
Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini.
Pasal 4
(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.
Pasal 5
(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak
pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik.
(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan
kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan
anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing
Kemasyarakatan.
Pasal 6
Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak
memakai toga atau pakaian dinas.
Pasal 7
(1) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak,
sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.
(2) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
diajukan ke Mahkamah Militer.
Pasal 8
(1) Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dilakukan dalam sidang terbuka.
(3) Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan
beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan.
(4) Selain mereka yang disebut dalam ayat (3), orang- orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim
dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan
pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
(6) Putusan pengadilan dalam memeriksa perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.
BAB II
HAKIM DAN WEWENANG SIDANG ANAK
Bagian Pertama
Hakim
Pasal 9
Hakim ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan
Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.
Pasal 10
Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 adalah :
a. telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; dan
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
Pasal 11
(1) Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan
perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.
(3) Hakim dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti.
Bagian Kedua
Hakim Banding
Pasal 12
Hakim Banding ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua
Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 13
Syarat-syarat yang berlaku untuk Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, berlaku pula untuk Hakim
Banding.
Pasal 14
(1) Hakim Banding memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat banding sebagai hakim tunggal.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Tinggi dapat menetapkan pemeriksaan
perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.
(3) Hakim Banding dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera
Pengganti.
Pasal 15
Ketua Pengadilan Tinggi memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap jalannya peradilan di dalam
daerah hukumnya agar Sidang Anak diselenggarakan sesuai dengan Undang-undang ini.
Bagian Ketiga
Hakim Kasasi
Pasal 16
Hakim Kasasi ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 17
Syarat-syarat yang berlaku untuk Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, berlaku pula untuk Hakim
Kasasi.
Pasal 18
(1) Hakim Kasasi memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat kasasi sebagai hakim tunggal.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan pemeriksaan
perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.
(3) Hakim Kasasi dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera
Pengganti.
Pasal 19
Pengawasan tertinggi atas Sidang Anak dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Bagian Keempat
Peninjauan Kembali
Pasal 20
Terhadap putusan pengadilan mengenai perkara Anak Nakal yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat dimohonkan peninjauan kembali oleh anak dan atau orang tua, wali, orang tua asuh, atau Penasihat
Hukumnya kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Undang- undang yang berlaku.
Bagian Kelima
Wewenang Sidang Anak
Pasal 21
Sidang Anak berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dalam hal perkara
Anak Nakal.
BAB III
PIDANA DAN TINDAKAN
Pasal 22
Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang
ini.
Pasal 23
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan
pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 24
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di
bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan
yang ditetapkan oleh Hakim.
Pasal 25
(1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, Hakim menjatuhkan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b, Hakim menjatuhkan
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 26
(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat
dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12
(dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12
(dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana
penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 27
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.
Pasal 28
(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari
maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.
(2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak dapat dibayar maka diganti
dengan wajib latihan kerja.
(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan
lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.
Pasal 29
(1) Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh Hakim, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2
(dua) tahun.
(2) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan
syarat umum dan syarat khusus.
(3) Syarat umum ialah bahwa Anak Nakal tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa
pidana bersyarat.
(4) Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan
hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.
(5) Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek daripada masa pidana bersyarat bagi syarat
umum.
(6) Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun.
(7) Selama menjalani masa pidana bersyarat, Jaksa melakukan pengawasan, dan Pembimbing
Kemasyarakatan melakukan bimbingan agar Anak Nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan.
(8) Anak Nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan dan berstatus
sebagai Klien Pemasyarakatan.
(9) Selama Anak Nakal berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah.
Pasal 30
(1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, dijatuhkan pidana
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka anak tersebut ditempatkan di bawah
pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan.
(3) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pengawasan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
(1) Anak Nakal yang oleh Hakim diputus untuk diserahkan kepada negara, ditemp atkan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak sebagai Anak Negara.
(2) Demi kepentingan anak, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat mengajukan izin kepada Menteri
Kehakiman agar Anak Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditempatkan di lembaga pendidikan
anak yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau swasta.
Pasal 32
Apabila Hakim memutuskan bahwa Anak Nakal wajib mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c, Hakim dalam keputusannya sekaligus menentukan
lembaga tempat pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja tersebut dilaksanakan.
BAB IV
PETUGAS KEMASYARAKATAN
Pasal 33
Petugas kemasyarakatan terdiri dari :
a. Pembimbing Kemasyarakatan dari Departemen Kehakiman;
b. Pekerja Sosial dari Departemen Sosial; dan
c. Pekerja Sosial Sukarela dari Organisasi Sosial Kemasyarakatan.
Pasal 34
(1) Pembimbing Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a bertugas :
a. membantu memperlancar tugas Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam perkara Anak Nakal,
baik di dalam maupun di luar Sidang Anak dengan membuat laporan hasil penelitian
kemasyarakatan;
b. membimbing, membantu, dan mengawasi Anak Nakal yang berdasarkan putusan pengadilan
dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada negara dan harus
mengikuti latihan kerja, atau anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga
Pemasyarakatan.
(2) Pekerja Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b, bertugas membimbing, membantu, dan
mengawasi Anak Nakal yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Departemen Sosial
untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pekerja Sosial mengadakan koordinasi
dengan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 35
Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) dapat dibantu oleh Pekerja Sosial Sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 huruf c.
Pasal 36
Ketentuan mengenai tugas, kewajiban, dan syarat-syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri Kehakiman.
Pasal 37
Ketentuan mengenai tugas, kewajiban, dan syarat-syarat bagi Pekerja Sosial diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri Sosial.
Pasal 38
Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial harus mempunyai keahlian khusus sesuai dengan tugas
dan kewajibannya atau mempunyai keterampilan teknis dan jiwa pengabdian di bidang usaha kesejahteraan
sosial.
Pasal 39
(1) Pekerja Sosial Sukarela harus mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dan minat untuk membina,
membimbing, dan membantu anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial, dan
perlindungan terhadap anak.
(2) Pekerja Sosial Sukarela memberikan laporan kepada Pembimbing Kemasyarakatan mengenai hasil
bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi
pidana atau tindakan.
BAB V
ACARA PENGADILAN ANAK
Bagian Pertama
Umum
Pasal 40
Hukum Acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam
Undang- undang ini.
Bagian Kedua
Perkara Anak Nakal
Paragraf 1
Penyidikan
Pasal 41
(1) Penyidikan terhadap Anak Nakal, dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala
Kepolisian Republik Indonesia.
(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
(3) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dibebankan kepada :
a. penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;
atau
b. penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku.
Pasal 42
(1) Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan.
(2) Dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran
dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari
ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya.
(3) Proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan.
Paragraf 2
Penangkapan dan Penahanan
Pasal 43
(1) Penangkapan Anak Nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk
paling lama 1 (satu) hari.
Pasal 44
(1) Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3)
huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan
yang belum selesai, atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang
berwenang, untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.
(4) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus
menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum
diserahkan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(6) Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan
Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu.
Pasal 45
(1) Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh memper-timbangkan kepentingan anak dan
atau kepentingan masyarakat.
(2) Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat
perintah penahanan.
(3) Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa.
(4) Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.
Pasal 46
(1) Untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan
yang belum selesai, atas permintaan Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri
yang berwenang untuk paling lama 15 (lima belas) hari.
(4) Dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) hari, Penuntut Umum harus melimpahkan berkas perkara anak
kepada pengadilan negeri.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum
dilimpahkan ke pengadilan negeri, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 47
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah
penahanan anak yang sedang diperiksa.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima belas) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan
yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling
lama 30 (tiga puluh) hari.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim belum memberikan
putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 48
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Banding di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat
perintah penahanan anak yang sedang diperiksa.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima belas) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan
yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk paling
lama 30 (tiga puluh) hari.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim Banding belum
memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 49
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
anak yang sedang diperiksa.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 25 (dua puluh lima) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan
yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama 30 (tiga
puluh) hari.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim Kasasi belum
memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 50
(1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 46, Pasal 47,
Pasal 48, dan Pasal 49, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa
dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena tersangka atau
terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter.
(2) Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 15 (lima
belas) hari, dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling
lama 15 (lima belas) hari.
(3) Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan oleh :
a. Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat penyidikan dan penuntutan;
b. Ketua Pengadilan Tinggi dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri;
c. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan banding dan kasasi.
(4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab.
(5) Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum
diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(6) Terhadap perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersangka atau terdakwa
dapat mengajukan keberatan kepada :
a. Ketua Pengadilan Tinggi dalam tingkat penyidikan dan penuntutan;
b. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding.
Pasal 51
(1) Setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang
atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara
yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
(2) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka dan
orang tua, wali, atau orang tua asuh, mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(3) Setiap Anak Nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan Penasihat
Hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 52
Dalam memberikan bantuan hukum kepada anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Penasihat
Hukum berkewajiban memperhatikan kepentingan anak dan kepentingan umum serta berusaha agar suasana
kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan berjalan lancar.
Paragraf 3
Penuntutan
Pasal 53
(1) Penuntutan terhadap Anak Nakal dilakukan oleh Penuntut Umum, yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.
(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah :
a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
(3) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dibebankan kepada Penuntut Umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang
dilakukan oleh orang dewasa.
Pasal 54
Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka ia
wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undangundang
Hukum Acara Pidana.
Paragraf 4
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 55
Dalam perkara Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, Penuntut Umum, Penasihat
Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, orang tua, wali, atau orang tua asuh dan saksi, wajib hadir dalam
Sidang Anak.
Pasal 56
(1) Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan
laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berisi :
a. data individu anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial anak; dan
b. kesimpulan atau pendapat dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 57
(1) Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, terdakwa
dipanggil masuk beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing
Kemasyarakatan.
(2) Selama dalam persidangan, terdakwa didampingi orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat
Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 58
(1) Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar terdakwa dibawa keluar ruang sidang.
(2) Pada waktu pemeriksaan saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), orang tua, wali, atau orang tua
asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir.
Pasal 59
(1) Sebelum mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali, atau orang
tua asuh untuk mengemukakan segala hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak.
(2) Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mempertimbangkan laporan penelitian
kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan.
(3) Putusan pengadilan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
BAB VI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK
Pasal 60
(1) Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang harus terpisah dari
orang dewasa.
(2) Anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak memperoleh
pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 61
(1) Anak Pidana yang belum selesai menjalani pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan telah
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan.
(2) Anak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun,
tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun ditempatkan di Lemb aga Pemasyarakatan secara
terpisah dari yang telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
Pasal 62
(1) Anak Pidana yang telah menjalani pidana penjara 2/3 (dua per tiga) dari pidana yang dijatuhkan yang
sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik, dapat diberikan pembebasan bersyarat.
(2) Anak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di bawah pengawasan Jaksa dan
Pembimbing Kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan.
(3) Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan masa percobaan yang
lamanya sama dengan sisa pidana yang harus dijalankannya.
(4) Dalam pembebasan bersyarat ditentukan syarat umum dan syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4).
(5) Pengamatan terhadap pelaksanaan bimbingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh Tim
Pengamat Pemasyarakatan.
Pasal 63
Apabila Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak berpendapat bahwa Anak Negara setelah menjalani masa
pendidikannya dalam lembaga paling sedikit 1 (satu) tahun dan berkelakuan baik sehingga tidak memerlukan
pembinaan lagi, Kepala Lembaga Pemasyarakatan dapat mengajukan permohonan izin kepada Menteri
Kehakiman agar anak tersebut dapat dikeluarkan dari lembaga dengan atau tanpa syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 64
Pelaksanaan ketentuan Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 65
Perkara Anak Nakal yang pada saat berlakunya Undang- undang ini :
a. sudah diperiksa tetapi belum diputus, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan berdasarkan hukum
acara yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini;
b. sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri tetapi belum diperiksa, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan
berdasarkan hukum acara Pengadilan Anak yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 66
Putusan hakim mengenai perkara Anak Nakal yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, atau yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap tetapi belum dilaksanakan pada saat Undang-undang ini mulai
berlaku, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Undang-undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 67
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 68
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 3
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1997
TENTANG
PENGADILAN ANAK
UMUM
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya
manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang
berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, diperlukan
pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental,
dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di
masa depan. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada
permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di
kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa
mengenal status sosial dan ekonomi. Di samping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak
mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial. Karena keadaan diri
yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga anak melakukan tindakan
atau berperilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus
globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan
gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan
masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam
pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh
akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan
perkembangan pribadinya.
Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku Anak Nakal, perlu
dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat
menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi keadaan
sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah Anak Nakal, orang
tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan,
dan pengembangan perilaku anak tersebut.
Hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan suatu hubungan yang hakiki, baik hubungan
psikologis maupun mental spiritualnya. Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam
menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap Anak Nakal diusahakan agar anak dimaksud jangan dipisahkan
dari orang tuanya. Apabila karena hubungan antara orang tua dan anak kurang baik, atau karena sifat
perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah
tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak
secara sehat dan wajar.
Di samping pertimbangan tersebut di atas, demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu
ditentukan pembedaan perlakuan di dalam hukum acara dan ancaman pidananya. Dalam hubungan ini
pengaturan pengecualian dari ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, yang lama pelaksanaan penahanannya ditentukan sesuai dengan kepentingan anak
dan pembedaan ancaman pidana bagi anak yang ditentukan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
penjatuhan pidananya ditentukan 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana yang dilakukan oleh
orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan
terhadap anak.
Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam Undang- undang ini dimaksudkan untuk lebih
melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang.
Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui
pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan
berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam Undang-undang ini ditentukan berdasarkan perbedaan umur
anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan
tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan
kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) sampai 18
(delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.
Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, maka perkara Anak
Nakal, wajib disidangkan pada Pengadilan Anak yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Dengan
demikian, proses peradilan perkara Anak Nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan
selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak.
Dalam penyelesaian perkara Anak Nakal, Hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan yang dihimpun oleh Pembimbing Kemasyarakatan mengenai data pribadi maupun keluarga
dari anak yang bersangkutan. Dengan adanya hasil laporan tersebut, diharapkan Hakim dapat memperoleh
gambaran yang tepat untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi anak yang bersangkutan.
Putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan, oleh sebab itu
Hakim harus yakin benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk
mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai
warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara.
Untuk lebih memantapkan upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi Anak Nakal yang telah diputus
oleh Hakim, maka anak tersebut ditampung di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Berbagai pertimbangan
tersebut di atas serta dalam rangka mewujudkan peradilan yang memperhatikan perlindungan dan
kepentingan anak, maka perlu diatur ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang
khusus bagi anak dalam lingkungan Peradilan Umum.
Dengan demikian, Pengadilan Anak diharapkan memberikan arah yang tepat dalam pembinaan dan
perlindungan terhadap anak.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Sesuai dengan asas praduga tak bersalah, maka seorang Anak Nakal yang sedang dalam proses peradilan
tetap dianggap sebagai tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Batas umur 8 (delapan) tahun bagi Anak Nakal untuk dapat diajukan ke Sidang Anak didasarkan pada
pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis, bahwa anak yang belum mencapai umur 8 (delapan)
tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap anak yang melakukan tindak pidana
sebelum mencapai umur 8 (delapan) tahun tetap diterapkan asas praduga tak bersalah.
Penyidikan terhadap anak dilakukan untuk apakah anak melakukan tindak pidana seorang diri atau ada unsur
pengikutsertaan (deelneming) dengan anak yang berumur di atas 8 (delapan) tahun atau dengan orang
dewasa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana kekeluargaan pada Sidang Anak.
Pasal 7
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Undang-undang ini memberikan
perlakuan khusus terhadap anak, dalam arti harus ada pemisahan perlakuan terhadap anak dan perlakuan
terhadap orang dewasa, atau terhadap Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam perkara
koneksitas.
Yang dimaksud dengan "Mahkamah Militer" adalah pengadilan di lingkungan Peradilan Militer.
Pasal 8
Ayat (1)
Pemeriksaan perkara anak dilakukan dalam sidang tertutup untuk melindungi kepentingan anak.
Ayat (2)
Pada prinsipnya pemeriksaan perkara anak harus dilakukan secara tertutup. Walaupun demikian dalam hal
tertentu dan dipandang perlu, Hakim dapat menetapkan pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka, tanpa
mengurangi hak anak. Hal tertentu dan dipandang perlu tersebut antara lain karena sifat dan keadaan perkara
harus dilakukan secara terbuka. Suatu sifat perkara akan diperiksa secara terbuka misalnya perkara
pelanggaran lalu lintas, sedangkan dilihat dari keadaan perkara misalnya pemeriksaan perkara di tempat
kejadian perkara.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "orang-orang tertentu" antara lain psikolog, tenaga pendidik, ahli agama, tenaga
peneliti, dan mahasiswa yang mengadakan riset.
Ayat (5)
Tanpa mengurangi hak yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan atau kode etik penyiaran berita,
pemberitaan mengenai hal yang terkait dengan perkara anak perlu dibatasi. Oleh karena itu, sejak penyidikan
sampai sebelum putusan pengadilan dijatuhkan, nama pihak-pihak yang terkait dengan perkara anak
digunakan singkatan.
Ayat (6)
Meskipun pemeriksaan perkara Anak Nakal dilakukan dalam sidang tertutup, namun putusan Hakim sesuai
dengan ketentuan yang berlaku wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak" adalah
memahami :
1) pembinaan anak yang meliputi pola asuh keluarga, pola pembinaan sopan santun, disiplin anak, serta
melaksanakan pendekatan secara efektif, afektif, dan simpatik;
2) pertumbuhan dan perkembangan anak; dan
3) berbagai tata nilai yang hidup di masyarakat yang mempengaruhi kehidupan anak.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "hal tertentu" adalah apabila ancaman pidana atas tindak pidana yang dilakukan
anak yang bersangkutan lebih dari 5 (lima) tahun dan sulit pembuktiannya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 11 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Yang dimaksud dengan "bimbingan" adalah pengarahan dan petunjuk, tanpa mengurangi kebebasan Hakim,
dari Ketua Pengadilan Tinggi kepada Hakim di daerah hukumnya, apabila Hakim tidak melaksanakan tugas
sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 11 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pembayaran ganti rugi yang dijatuhkan sebagai pidana tambahan merupakan tanggung jawab dari orang tua
atau orang lain yang menjalankan kekuasaan orang tua.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Meskipun anak dikembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, anak tersebut tetap di bawah
pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan, antara lain mengikuti kegiatan kepramukaan dan
lain- lain.
Huruf b
Apabila Hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau orang tua asuh tidak dapat memberikan pendidikan
dan pembinaan yang lebih baik, maka Hakim dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Latihan kerja dimaksudkan untuk memberikan bekal keterampilan kepada anak, misalnya dengan memberikan
keterampilan mengenai pertukangan, pertanian, perbengkelan, tata rias, dan sebagainya sehingga setelah
selesai menjalani tindakan dapat hidup mandiri.
Huruf c
Pada prinsipnya pendidikan, pembinaan dan latihan kerja diselenggarakan oleh Pemerintah di Lembaga
Pemasyarakatan Anak atau Departemen Sosial, tetapi dalam hal kepentingan anak menghendaki, Hakim
dapat menetapkan anak yang bersangkutan
diserahkan kepada Organisasi Sosial Kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial
lainnya dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "teguran" adalah peringatan dari Hakim baik secara langsung terhadap anak yang
dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, agar anak
tersebut tidak mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan.
Yang dimaksud dengan "syarat tambahan" misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada
Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 25
Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak, Hakim memperhatikan berat
ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Di samping itu Hakim
juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh,
hubungan antara anggota keluarga dan keadaan lingkungannya. Demikian pula, Hakim wajib memperhatikan
laporan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa" adalah maksimum ancaman
pidana penjara terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam Kitab Undangundang
Hukum Pidana atau Undang-undang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 27
Yang dimaksud dengan "maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa" adalah maksimum
ancaman pidana kurungan terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Undang-undang lainnya.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa" adalah maksimum ancaman
pidana denda terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam Kitab Undangundang
Hukum Pidana atau Undang-undang lainnya.
Ayat (2)
Wajib latihan kerja dimaksudkan sebagai pengganti pidana denda yang sekaligus untuk mendidik anak yang
bersangkutan agar memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "syarat khusus" antara lain tidak boleh mengemudikan kendaraan bermotor, atau
diwajibkan mengikuti kegiatan yang diprogramkan Balai Pemasyarakatan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Yang dimaksud dengan "pendidikan sekolah" adalah pendidikan yang dilaksanakan di sekolah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 30
Yang dimaksud dengan "pidana pengawasan" adalah pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni
pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak
tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Demi kepentingan anak, Kepala Lembaga Pemasyarakatan diberikan kewenangan untuk memindahkan Anak
Negara dari Lembaga Pemasyarakatan Anak ke lembaga pendidikan anak yang diselenggarakan Pemerintah
atau swasta dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan. Pemberian kewenangan ini didasarkan
pada pertimbangan karena Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak mengetahui dengan baik mengenai
perkembangan anak selama mengalami pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak, serta
pembinaan Anak Negara selanjutnya. Namun kewenangan untuk memindahkan Anak Negara ini harus
mendapat izin terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman.
Yang dimaksud dengan "lembaga pendidikan anak" adalah setiap lembaga yang menyelenggarakan kegiatan
dalam rangka memberikan pendidikan kepada anak, baik jasmani, rohani, maupun sosial anak.
Pasal 32
Keharusan mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, khusus dikenakan kepada Anak Nakal yang
tidak atau kurang mengenal disiplin dan ketertiban dalam kehidupan sehari-hari.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Lihat penjelasan Pasal 10 huruf b.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "hal tertentu" adalah dalam hal belum terdapat penyidik anak yang persyaratan
pengangkatannya sebagaimana ditentukan dalam Undang- undang ini.
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar penyidikan tetap dapat dilaksanakan, walaupun di daerah
tersebut belum ada penunjukan penyidik anak, sedangkan penyidik lain dalam huruf b adalah Penyidik
Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang yang berlaku.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dalam suasana kekeluargaan" antara lain pada waktu memeriksa tersangka,
Penyidik tidak memakai pakaian dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, afektif, dan simpatik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "1 (satu) hari" adalah satu kali 24 (dua puluh empat) jam.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan "tempat khusus" adalah tempat penahanan yang secara khusus diperuntukkan bagi
anak, yang terpisah dari tahanan orang dewasa. Apabila di dalam suatu daerah belum terdapat Rumah
Tahanan Negara atau Cabang Rumah Tahanan Negara, atau apabila di kedua tempat tahanan di atas sudah
penuh, maka penahanan terhadap anak dapat dilaksanakan di tempat tertentu lainnya dengan tetap
memperhatikan kepentingan pemeriksaan perkara dan kepentingan anak.
Pasal 45
Ayat (1)
Pada dasarnya penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan, namun penahanan terhadap anak
harus pula memperhatikan kepentingan anak yang menyangkut pertum- buhan dan perkembangan anak baik
fisik, mental, maupun sosial anak dan kepentingan masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Kebutuhan rohani anak termasuk kebutuhan intelektual anak.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan " kepentingan pemeriksaan" adalah kepentingan pemeriksaan dalam rangka
penuntutan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini tidak mengurangi hak orang tua, wali, orang tua asuh, atau petugas kemasyarakatan untuk
berhubungan langsung dengan anak yang ditangkap atau ditahan.
Pasal 52
Dalam melaksanakan kewajiban ini, Penasihat Hukum memperhatikan pula pendapat petugas
kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Lihat penjelasan Pasal 10 huruf b.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "hal tertentu" adalah dalam hal belum terdapat penuntut umum anak yang
persyaratan pengangkatannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini. Ketentuan dalam ayat ini
dimaksudkan agar penuntutan tetap dapat dilaksanakan, walaupun di daerah tersebut belum ada penunjukan
penuntut umum anak.
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Meskipun pada prinsipnya tindak pidana merupakan tanggung jawab terdakwa sendiri, tetapi karena dalam
hal ini terdakwanya adalah anak, maka tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran orang tua, wali, atau orang
tua asuh.
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "sebelum sidang dibuka" adalah sebelum sidang secara resmi dibuka. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk memberi cukup waktu bagi Hakim untuk mempelajari laporan penelitian kemasyarakatan,
karena itu laporan tersebut tidak diberikan pada saat menjelang sidang melainkan beberapa waktu
sebelumnya.
Hakim wajib meminta penjelasan kepada Pembimbing Kemasyarakatan atas hal tertentu yang berhubungan
dengan perkara anak untuk mendapatkan data yang lebih lengkap.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Ayat (1)
Terdakwa dibawa ke luar sidang dimaksudkan untuk menghindari adanya hal yang mempengaruhi jiwa anak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "wajib" dalam ayat ini adalah apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, mengakibatkan
putusan batal demi hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Apabila di dalam suatu daerah belum terdapat Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka Anak Didik Pemasyarakatan dapat
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang penempatannya terpisah dari orang dewasa.
Ayat (2)
Hak yang diperoleh Anak Didik Pemasyarakatan selama ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pemberian
hak tersebut tetap perlu diperhatikan pembinaan bagi anak yang bersangkutan, antara lain mengenai
pertumbuhan dan perkembangan baik fisik, mental, maupun sosial anak.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penempatan Anak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi
mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun.
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Untuk mengeluarkan anak dari Lembaga Pemasyarakatan Anak diperlukan izin dari Menteri Kehakiman, agar
mengenai masalah tersebut dapat dilaksanakan dengan tertib.
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3668
Kutipan : MEDIA ELEKTRONIK SEKRETARIAT NEGARA TAHUN 1997UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1997
TENTANG
PENGADILAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang
merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang;
b. bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan
dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan
memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan
secara khusus;
c. bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum, pengkhususan pengadilan anak berada di lingkungan Peradilan Umum dan
dibentuk dengan Undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, dan c, perlu membentuk Undang- undang
tentang Pengadilan Anak;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Anak Nakal adalah :
a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.
3. Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat Pemasyarakatan, dan Klien
Pemasyarakatan adalah Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat
Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
4. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah
Tahanan Negara atau di tempat tertentu.
5. Penyidik adalah penyidik anak.
6. Penuntut Umum adalah penuntut umum anak.
7. Hakim adalah hakim anak.
8. Hakim Banding adalah hakim banding anak.
9. Hakim Kasasi adalah hakim kasasi anak.
10. Orang tua asuh adalah orang yang secara nyata mengasuh anak, selaku orang tua terhadap anak.
11. Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan yang
melakukan bimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
12. Organisasi Sosial Kemasyarakatan adalah organisasi masyarakat yang mempunyai perhatian khusus
kepada masalah Anak Nakal.
13. Penasihat Hukum adalah penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 2
Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 3
Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini.
Pasal 4
(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.
Pasal 5
(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak
pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik.
(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan
kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan
anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing
Kemasyarakatan.
Pasal 6
Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak
memakai toga atau pakaian dinas.
Pasal 7
(1) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak,
sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.
(2) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
diajukan ke Mahkamah Militer.
Pasal 8
(1) Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dilakukan dalam sidang terbuka.
(3) Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan
beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan.
(4) Selain mereka yang disebut dalam ayat (3), orang- orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim
dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan
pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
(6) Putusan pengadilan dalam memeriksa perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.
BAB II
HAKIM DAN WEWENANG SIDANG ANAK
Bagian Pertama
Hakim
Pasal 9
Hakim ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan
Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.
Pasal 10
Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 adalah :
a. telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; dan
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
Pasal 11
(1) Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan
perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.
(3) Hakim dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti.
Bagian Kedua
Hakim Banding
Pasal 12
Hakim Banding ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua
Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 13
Syarat-syarat yang berlaku untuk Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, berlaku pula untuk Hakim
Banding.
Pasal 14
(1) Hakim Banding memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat banding sebagai hakim tunggal.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Tinggi dapat menetapkan pemeriksaan
perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.
(3) Hakim Banding dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera
Pengganti.
Pasal 15
Ketua Pengadilan Tinggi memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap jalannya peradilan di dalam
daerah hukumnya agar Sidang Anak diselenggarakan sesuai dengan Undang-undang ini.
Bagian Ketiga
Hakim Kasasi
Pasal 16
Hakim Kasasi ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 17
Syarat-syarat yang berlaku untuk Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, berlaku pula untuk Hakim
Kasasi.
Pasal 18
(1) Hakim Kasasi memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat kasasi sebagai hakim tunggal.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan pemeriksaan
perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.
(3) Hakim Kasasi dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera
Pengganti.
Pasal 19
Pengawasan tertinggi atas Sidang Anak dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Bagian Keempat
Peninjauan Kembali
Pasal 20
Terhadap putusan pengadilan mengenai perkara Anak Nakal yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat dimohonkan peninjauan kembali oleh anak dan atau orang tua, wali, orang tua asuh, atau Penasihat
Hukumnya kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Undang- undang yang berlaku.
Bagian Kelima
Wewenang Sidang Anak
Pasal 21
Sidang Anak berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dalam hal perkara
Anak Nakal.
BAB III
PIDANA DAN TINDAKAN
Pasal 22
Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang
ini.
Pasal 23
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan
pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 24
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di
bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan
yang ditetapkan oleh Hakim.
Pasal 25
(1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, Hakim menjatuhkan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b, Hakim menjatuhkan
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 26
(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat
dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12
(dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12
(dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana
penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 27
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.
Pasal 28
(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari
maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.
(2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak dapat dibayar maka diganti
dengan wajib latihan kerja.
(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan
lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.
Pasal 29
(1) Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh Hakim, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2
(dua) tahun.
(2) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan
syarat umum dan syarat khusus.
(3) Syarat umum ialah bahwa Anak Nakal tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa
pidana bersyarat.
(4) Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan
hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.
(5) Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek daripada masa pidana bersyarat bagi syarat
umum.
(6) Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun.
(7) Selama menjalani masa pidana bersyarat, Jaksa melakukan pengawasan, dan Pembimbing
Kemasyarakatan melakukan bimbingan agar Anak Nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan.
(8) Anak Nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan dan berstatus
sebagai Klien Pemasyarakatan.
(9) Selama Anak Nakal berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah.
Pasal 30
(1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, dijatuhkan pidana
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka anak tersebut ditempatkan di bawah
pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan.
(3) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pengawasan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
(1) Anak Nakal yang oleh Hakim diputus untuk diserahkan kepada negara, ditemp atkan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak sebagai Anak Negara.
(2) Demi kepentingan anak, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat mengajukan izin kepada Menteri
Kehakiman agar Anak Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditempatkan di lembaga pendidikan
anak yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau swasta.
Pasal 32
Apabila Hakim memutuskan bahwa Anak Nakal wajib mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c, Hakim dalam keputusannya sekaligus menentukan
lembaga tempat pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja tersebut dilaksanakan.
BAB IV
PETUGAS KEMASYARAKATAN
Pasal 33
Petugas kemasyarakatan terdiri dari :
a. Pembimbing Kemasyarakatan dari Departemen Kehakiman;
b. Pekerja Sosial dari Departemen Sosial; dan
c. Pekerja Sosial Sukarela dari Organisasi Sosial Kemasyarakatan.
Pasal 34
(1) Pembimbing Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a bertugas :
a. membantu memperlancar tugas Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam perkara Anak Nakal,
baik di dalam maupun di luar Sidang Anak dengan membuat laporan hasil penelitian
kemasyarakatan;
b. membimbing, membantu, dan mengawasi Anak Nakal yang berdasarkan putusan pengadilan
dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada negara dan harus
mengikuti latihan kerja, atau anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga
Pemasyarakatan.
(2) Pekerja Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b, bertugas membimbing, membantu, dan
mengawasi Anak Nakal yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Departemen Sosial
untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pekerja Sosial mengadakan koordinasi
dengan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 35
Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) dapat dibantu oleh Pekerja Sosial Sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 huruf c.
Pasal 36
Ketentuan mengenai tugas, kewajiban, dan syarat-syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri Kehakiman.
Pasal 37
Ketentuan mengenai tugas, kewajiban, dan syarat-syarat bagi Pekerja Sosial diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri Sosial.
Pasal 38
Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial harus mempunyai keahlian khusus sesuai dengan tugas
dan kewajibannya atau mempunyai keterampilan teknis dan jiwa pengabdian di bidang usaha kesejahteraan
sosial.
Pasal 39
(1) Pekerja Sosial Sukarela harus mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dan minat untuk membina,
membimbing, dan membantu anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial, dan
perlindungan terhadap anak.
(2) Pekerja Sosial Sukarela memberikan laporan kepada Pembimbing Kemasyarakatan mengenai hasil
bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi
pidana atau tindakan.
BAB V
ACARA PENGADILAN ANAK
Bagian Pertama
Umum
Pasal 40
Hukum Acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam
Undang- undang ini.
Bagian Kedua
Perkara Anak Nakal
Paragraf 1
Penyidikan
Pasal 41
(1) Penyidikan terhadap Anak Nakal, dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala
Kepolisian Republik Indonesia.
(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
(3) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dibebankan kepada :
a. penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;
atau
b. penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku.
Pasal 42
(1) Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan.
(2) Dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran
dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari
ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya.
(3) Proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan.
Paragraf 2
Penangkapan dan Penahanan
Pasal 43
(1) Penangkapan Anak Nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk
paling lama 1 (satu) hari.
Pasal 44
(1) Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3)
huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan
yang belum selesai, atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang
berwenang, untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.
(4) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus
menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum
diserahkan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(6) Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan
Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu.
Pasal 45
(1) Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh memper-timbangkan kepentingan anak dan
atau kepentingan masyarakat.
(2) Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat
perintah penahanan.
(3) Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa.
(4) Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.
Pasal 46
(1) Untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan
yang belum selesai, atas permintaan Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri
yang berwenang untuk paling lama 15 (lima belas) hari.
(4) Dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) hari, Penuntut Umum harus melimpahkan berkas perkara anak
kepada pengadilan negeri.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum
dilimpahkan ke pengadilan negeri, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 47
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah
penahanan anak yang sedang diperiksa.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima belas) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan
yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling
lama 30 (tiga puluh) hari.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim belum memberikan
putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 48
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Banding di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat
perintah penahanan anak yang sedang diperiksa.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima belas) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan
yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk paling
lama 30 (tiga puluh) hari.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim Banding belum
memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 49
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
anak yang sedang diperiksa.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 25 (dua puluh lima) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan
yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama 30 (tiga
puluh) hari.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim Kasasi belum
memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 50
(1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 46, Pasal 47,
Pasal 48, dan Pasal 49, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa
dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena tersangka atau
terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter.
(2) Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 15 (lima
belas) hari, dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling
lama 15 (lima belas) hari.
(3) Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan oleh :
a. Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat penyidikan dan penuntutan;
b. Ketua Pengadilan Tinggi dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri;
c. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan banding dan kasasi.
(4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab.
(5) Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum
diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(6) Terhadap perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersangka atau terdakwa
dapat mengajukan keberatan kepada :
a. Ketua Pengadilan Tinggi dalam tingkat penyidikan dan penuntutan;
b. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding.
Pasal 51
(1) Setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang
atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara
yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
(2) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka dan
orang tua, wali, atau orang tua asuh, mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(3) Setiap Anak Nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan Penasihat
Hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 52
Dalam memberikan bantuan hukum kepada anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Penasihat
Hukum berkewajiban memperhatikan kepentingan anak dan kepentingan umum serta berusaha agar suasana
kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan berjalan lancar.
Paragraf 3
Penuntutan
Pasal 53
(1) Penuntutan terhadap Anak Nakal dilakukan oleh Penuntut Umum, yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.
(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah :
a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
(3) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dibebankan kepada Penuntut Umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang
dilakukan oleh orang dewasa.
Pasal 54
Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka ia
wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undangundang
Hukum Acara Pidana.
Paragraf 4
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 55
Dalam perkara Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, Penuntut Umum, Penasihat
Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, orang tua, wali, atau orang tua asuh dan saksi, wajib hadir dalam
Sidang Anak.
Pasal 56
(1) Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan
laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berisi :
a. data individu anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial anak; dan
b. kesimpulan atau pendapat dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 57
(1) Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, terdakwa
dipanggil masuk beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing
Kemasyarakatan.
(2) Selama dalam persidangan, terdakwa didampingi orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat
Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 58
(1) Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar terdakwa dibawa keluar ruang sidang.
(2) Pada waktu pemeriksaan saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), orang tua, wali, atau orang tua
asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir.
Pasal 59
(1) Sebelum mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali, atau orang
tua asuh untuk mengemukakan segala hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak.
(2) Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mempertimbangkan laporan penelitian
kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan.
(3) Putusan pengadilan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
BAB VI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK
Pasal 60
(1) Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang harus terpisah dari
orang dewasa.
(2) Anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak memperoleh
pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 61
(1) Anak Pidana yang belum selesai menjalani pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan telah
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan.
(2) Anak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun,
tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun ditempatkan di Lemb aga Pemasyarakatan secara
terpisah dari yang telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
Pasal 62
(1) Anak Pidana yang telah menjalani pidana penjara 2/3 (dua per tiga) dari pidana yang dijatuhkan yang
sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik, dapat diberikan pembebasan bersyarat.
(2) Anak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di bawah pengawasan Jaksa dan
Pembimbing Kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan.
(3) Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan masa percobaan yang
lamanya sama dengan sisa pidana yang harus dijalankannya.
(4) Dalam pembebasan bersyarat ditentukan syarat umum dan syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4).
(5) Pengamatan terhadap pelaksanaan bimbingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh Tim
Pengamat Pemasyarakatan.
Pasal 63
Apabila Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak berpendapat bahwa Anak Negara setelah menjalani masa
pendidikannya dalam lembaga paling sedikit 1 (satu) tahun dan berkelakuan baik sehingga tidak memerlukan
pembinaan lagi, Kepala Lembaga Pemasyarakatan dapat mengajukan permohonan izin kepada Menteri
Kehakiman agar anak tersebut dapat dikeluarkan dari lembaga dengan atau tanpa syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 64
Pelaksanaan ketentuan Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 65
Perkara Anak Nakal yang pada saat berlakunya Undang- undang ini :
a. sudah diperiksa tetapi belum diputus, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan berdasarkan hukum
acara yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini;
b. sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri tetapi belum diperiksa, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan
berdasarkan hukum acara Pengadilan Anak yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 66
Putusan hakim mengenai perkara Anak Nakal yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, atau yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap tetapi belum dilaksanakan pada saat Undang-undang ini mulai
berlaku, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Undang-undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 67
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 68
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 3
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1997
TENTANG
PENGADILAN ANAK
UMUM
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya
manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang
berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, diperlukan
pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental,
dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di
masa depan. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada
permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di
kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa
mengenal status sosial dan ekonomi. Di samping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak
mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial. Karena keadaan diri
yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga anak melakukan tindakan
atau berperilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus
globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan
gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan
masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam
pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh
akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan
perkembangan pribadinya.
Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku Anak Nakal, perlu
dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat
menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi keadaan
sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah Anak Nakal, orang
tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan,
dan pengembangan perilaku anak tersebut.
Hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan suatu hubungan yang hakiki, baik hubungan
psikologis maupun mental spiritualnya. Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam
menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap Anak Nakal diusahakan agar anak dimaksud jangan dipisahkan
dari orang tuanya. Apabila karena hubungan antara orang tua dan anak kurang baik, atau karena sifat
perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah
tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak
secara sehat dan wajar.
Di samping pertimbangan tersebut di atas, demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu
ditentukan pembedaan perlakuan di dalam hukum acara dan ancaman pidananya. Dalam hubungan ini
pengaturan pengecualian dari ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, yang lama pelaksanaan penahanannya ditentukan sesuai dengan kepentingan anak
dan pembedaan ancaman pidana bagi anak yang ditentukan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
penjatuhan pidananya ditentukan 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana yang dilakukan oleh
orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan
terhadap anak.
Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam Undang- undang ini dimaksudkan untuk lebih
melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang.
Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui
pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan
berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam Undang-undang ini ditentukan berdasarkan perbedaan umur
anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan
tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan
kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) sampai 18
(delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.
Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, maka perkara Anak
Nakal, wajib disidangkan pada Pengadilan Anak yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Dengan
demikian, proses peradilan perkara Anak Nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan
selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak.
Dalam penyelesaian perkara Anak Nakal, Hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan yang dihimpun oleh Pembimbing Kemasyarakatan mengenai data pribadi maupun keluarga
dari anak yang bersangkutan. Dengan adanya hasil laporan tersebut, diharapkan Hakim dapat memperoleh
gambaran yang tepat untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi anak yang bersangkutan.
Putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan, oleh sebab itu
Hakim harus yakin benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk
mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai
warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara.
Untuk lebih memantapkan upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi Anak Nakal yang telah diputus
oleh Hakim, maka anak tersebut ditampung di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Berbagai pertimbangan
tersebut di atas serta dalam rangka mewujudkan peradilan yang memperhatikan perlindungan dan
kepentingan anak, maka perlu diatur ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang
khusus bagi anak dalam lingkungan Peradilan Umum.
Dengan demikian, Pengadilan Anak diharapkan memberikan arah yang tepat dalam pembinaan dan
perlindungan terhadap anak.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Sesuai dengan asas praduga tak bersalah, maka seorang Anak Nakal yang sedang dalam proses peradilan
tetap dianggap sebagai tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Batas umur 8 (delapan) tahun bagi Anak Nakal untuk dapat diajukan ke Sidang Anak didasarkan pada
pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis, bahwa anak yang belum mencapai umur 8 (delapan)
tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap anak yang melakukan tindak pidana
sebelum mencapai umur 8 (delapan) tahun tetap diterapkan asas praduga tak bersalah.
Penyidikan terhadap anak dilakukan untuk apakah anak melakukan tindak pidana seorang diri atau ada unsur
pengikutsertaan (deelneming) dengan anak yang berumur di atas 8 (delapan) tahun atau dengan orang
dewasa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana kekeluargaan pada Sidang Anak.
Pasal 7
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Undang-undang ini memberikan
perlakuan khusus terhadap anak, dalam arti harus ada pemisahan perlakuan terhadap anak dan perlakuan
terhadap orang dewasa, atau terhadap Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam perkara
koneksitas.
Yang dimaksud dengan "Mahkamah Militer" adalah pengadilan di lingkungan Peradilan Militer.
Pasal 8
Ayat (1)
Pemeriksaan perkara anak dilakukan dalam sidang tertutup untuk melindungi kepentingan anak.
Ayat (2)
Pada prinsipnya pemeriksaan perkara anak harus dilakukan secara tertutup. Walaupun demikian dalam hal
tertentu dan dipandang perlu, Hakim dapat menetapkan pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka, tanpa
mengurangi hak anak. Hal tertentu dan dipandang perlu tersebut antara lain karena sifat dan keadaan perkara
harus dilakukan secara terbuka. Suatu sifat perkara akan diperiksa secara terbuka misalnya perkara
pelanggaran lalu lintas, sedangkan dilihat dari keadaan perkara misalnya pemeriksaan perkara di tempat
kejadian perkara.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "orang-orang tertentu" antara lain psikolog, tenaga pendidik, ahli agama, tenaga
peneliti, dan mahasiswa yang mengadakan riset.
Ayat (5)
Tanpa mengurangi hak yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan atau kode etik penyiaran berita,
pemberitaan mengenai hal yang terkait dengan perkara anak perlu dibatasi. Oleh karena itu, sejak penyidikan
sampai sebelum putusan pengadilan dijatuhkan, nama pihak-pihak yang terkait dengan perkara anak
digunakan singkatan.
Ayat (6)
Meskipun pemeriksaan perkara Anak Nakal dilakukan dalam sidang tertutup, namun putusan Hakim sesuai
dengan ketentuan yang berlaku wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak" adalah
memahami :
1) pembinaan anak yang meliputi pola asuh keluarga, pola pembinaan sopan santun, disiplin anak, serta
melaksanakan pendekatan secara efektif, afektif, dan simpatik;
2) pertumbuhan dan perkembangan anak; dan
3) berbagai tata nilai yang hidup di masyarakat yang mempengaruhi kehidupan anak.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "hal tertentu" adalah apabila ancaman pidana atas tindak pidana yang dilakukan
anak yang bersangkutan lebih dari 5 (lima) tahun dan sulit pembuktiannya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 11 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Yang dimaksud dengan "bimbingan" adalah pengarahan dan petunjuk, tanpa mengurangi kebebasan Hakim,
dari Ketua Pengadilan Tinggi kepada Hakim di daerah hukumnya, apabila Hakim tidak melaksanakan tugas
sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 11 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pembayaran ganti rugi yang dijatuhkan sebagai pidana tambahan merupakan tanggung jawab dari orang tua
atau orang lain yang menjalankan kekuasaan orang tua.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Meskipun anak dikembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, anak tersebut tetap di bawah
pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan, antara lain mengikuti kegiatan kepramukaan dan
lain- lain.
Huruf b
Apabila Hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau orang tua asuh tidak dapat memberikan pendidikan
dan pembinaan yang lebih baik, maka Hakim dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Latihan kerja dimaksudkan untuk memberikan bekal keterampilan kepada anak, misalnya dengan memberikan
keterampilan mengenai pertukangan, pertanian, perbengkelan, tata rias, dan sebagainya sehingga setelah
selesai menjalani tindakan dapat hidup mandiri.
Huruf c
Pada prinsipnya pendidikan, pembinaan dan latihan kerja diselenggarakan oleh Pemerintah di Lembaga
Pemasyarakatan Anak atau Departemen Sosial, tetapi dalam hal kepentingan anak menghendaki, Hakim
dapat menetapkan anak yang bersangkutan
diserahkan kepada Organisasi Sosial Kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial
lainnya dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "teguran" adalah peringatan dari Hakim baik secara langsung terhadap anak yang
dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, agar anak
tersebut tidak mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan.
Yang dimaksud dengan "syarat tambahan" misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada
Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 25
Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak, Hakim memperhatikan berat
ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Di samping itu Hakim
juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh,
hubungan antara anggota keluarga dan keadaan lingkungannya. Demikian pula, Hakim wajib memperhatikan
laporan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa" adalah maksimum ancaman
pidana penjara terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam Kitab Undangundang
Hukum Pidana atau Undang-undang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 27
Yang dimaksud dengan "maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa" adalah maksimum
ancaman pidana kurungan terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Undang-undang lainnya.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa" adalah maksimum ancaman
pidana denda terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam Kitab Undangundang
Hukum Pidana atau Undang-undang lainnya.
Ayat (2)
Wajib latihan kerja dimaksudkan sebagai pengganti pidana denda yang sekaligus untuk mendidik anak yang
bersangkutan agar memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "syarat khusus" antara lain tidak boleh mengemudikan kendaraan bermotor, atau
diwajibkan mengikuti kegiatan yang diprogramkan Balai Pemasyarakatan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Yang dimaksud dengan "pendidikan sekolah" adalah pendidikan yang dilaksanakan di sekolah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 30
Yang dimaksud dengan "pidana pengawasan" adalah pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni
pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak
tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Demi kepentingan anak, Kepala Lembaga Pemasyarakatan diberikan kewenangan untuk memindahkan Anak
Negara dari Lembaga Pemasyarakatan Anak ke lembaga pendidikan anak yang diselenggarakan Pemerintah
atau swasta dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan. Pemberian kewenangan ini didasarkan
pada pertimbangan karena Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak mengetahui dengan baik mengenai
perkembangan anak selama mengalami pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak, serta
pembinaan Anak Negara selanjutnya. Namun kewenangan untuk memindahkan Anak Negara ini harus
mendapat izin terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman.
Yang dimaksud dengan "lembaga pendidikan anak" adalah setiap lembaga yang menyelenggarakan kegiatan
dalam rangka memberikan pendidikan kepada anak, baik jasmani, rohani, maupun sosial anak.
Pasal 32
Keharusan mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, khusus dikenakan kepada Anak Nakal yang
tidak atau kurang mengenal disiplin dan ketertiban dalam kehidupan sehari-hari.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Lihat penjelasan Pasal 10 huruf b.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "hal tertentu" adalah dalam hal belum terdapat penyidik anak yang persyaratan
pengangkatannya sebagaimana ditentukan dalam Undang- undang ini.
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar penyidikan tetap dapat dilaksanakan, walaupun di daerah
tersebut belum ada penunjukan penyidik anak, sedangkan penyidik lain dalam huruf b adalah Penyidik
Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang yang berlaku.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dalam suasana kekeluargaan" antara lain pada waktu memeriksa tersangka,
Penyidik tidak memakai pakaian dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, afektif, dan simpatik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "1 (satu) hari" adalah satu kali 24 (dua puluh empat) jam.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan "tempat khusus" adalah tempat penahanan yang secara khusus diperuntukkan bagi
anak, yang terpisah dari tahanan orang dewasa. Apabila di dalam suatu daerah belum terdapat Rumah
Tahanan Negara atau Cabang Rumah Tahanan Negara, atau apabila di kedua tempat tahanan di atas sudah
penuh, maka penahanan terhadap anak dapat dilaksanakan di tempat tertentu lainnya dengan tetap
memperhatikan kepentingan pemeriksaan perkara dan kepentingan anak.
Pasal 45
Ayat (1)
Pada dasarnya penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan, namun penahanan terhadap anak
harus pula memperhatikan kepentingan anak yang menyangkut pertum- buhan dan perkembangan anak baik
fisik, mental, maupun sosial anak dan kepentingan masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Kebutuhan rohani anak termasuk kebutuhan intelektual anak.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan " kepentingan pemeriksaan" adalah kepentingan pemeriksaan dalam rangka
penuntutan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini tidak mengurangi hak orang tua, wali, orang tua asuh, atau petugas kemasyarakatan untuk
berhubungan langsung dengan anak yang ditangkap atau ditahan.
Pasal 52
Dalam melaksanakan kewajiban ini, Penasihat Hukum memperhatikan pula pendapat petugas
kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Lihat penjelasan Pasal 10 huruf b.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "hal tertentu" adalah dalam hal belum terdapat penuntut umum anak yang
persyaratan pengangkatannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini. Ketentuan dalam ayat ini
dimaksudkan agar penuntutan tetap dapat dilaksanakan, walaupun di daerah tersebut belum ada penunjukan
penuntut umum anak.
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Meskipun pada prinsipnya tindak pidana merupakan tanggung jawab terdakwa sendiri, tetapi karena dalam
hal ini terdakwanya adalah anak, maka tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran orang tua, wali, atau orang
tua asuh.
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "sebelum sidang dibuka" adalah sebelum sidang secara resmi dibuka. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk memberi cukup waktu bagi Hakim untuk mempelajari laporan penelitian kemasyarakatan,
karena itu laporan tersebut tidak diberikan pada saat menjelang sidang melainkan beberapa waktu
sebelumnya.
Hakim wajib meminta penjelasan kepada Pembimbing Kemasyarakatan atas hal tertentu yang berhubungan
dengan perkara anak untuk mendapatkan data yang lebih lengkap.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Ayat (1)
Terdakwa dibawa ke luar sidang dimaksudkan untuk menghindari adanya hal yang mempengaruhi jiwa anak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "wajib" dalam ayat ini adalah apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, mengakibatkan
putusan batal demi hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Apabila di dalam suatu daerah belum terdapat Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka Anak Didik Pemasyarakatan dapat
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang penempatannya terpisah dari orang dewasa.
Ayat (2)
Hak yang diperoleh Anak Didik Pemasyarakatan selama ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pemberian
hak tersebut tetap perlu diperhatikan pembinaan bagi anak yang bersangkutan, antara lain mengenai
pertumbuhan dan perkembangan baik fisik, mental, maupun sosial anak.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penempatan Anak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi
mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun.
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Untuk mengeluarkan anak dari Lembaga Pemasyarakatan Anak diperlukan izin dari Menteri Kehakiman, agar
mengenai masalah tersebut dapat dilaksanakan dengan tertib.
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3668

0 komentar:

Posting Komentar

ShareThis

banner a href="http://www.justbeenpaid.com/?r=XHhV4Ln94t"> banner