MAU DUIT?!!!

Jumat, 23 Maret 2012

pilsafat umum












Disusun Oleh:

NAMA            : FITRA YUDHA

                                             NPM               : 0821010015

                                             FAK/JUR       : SYARI’AH/AS










FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
BANDAR LAMPUNG

 
2008

DAFTAR ISI


A. FILSAFAT UMUM...................................................................................................................2
1.       Pengertian filsafat................................................................................................................2
  1. Cara Mempelajari Filsafat...................................................................................................3
  2. Timbulnya Filsafat...............................................................................................................4
  3. Manfaat Filsafat...................................................................................................................5
  4. Objek Filsafat.......................................................................................................................6
  5. Karakteristik filsafat.............................................................................................................6

Dasar-dasar Pengetahuan……………………………………………………………………...7
1.       Logika………………………………………………………………………………...7
2.       Penalaran.......................................................................................................................8
3.       Sumber Pengetahuan…………………………………………………………...……10
4.       Keriteria kebenaran………………………………………………………………….11

      Perbandingan dan Hubungan Filsafat, Agama, Ilmu, dan kebudayaan………………………11
1.       Filsafat dan Agama…………………………………………………………………..11
2.       Filsafat dan Ilmu……………………………………………………………………..12
3.       Filsafat dan Kebudayaan…………………………………………………………….13

B. FILSAFAT PADA ZAMAN YUNANI KUNO......................................................................14
  1. Thales…………………………………………………………………………………….14
  2. Anaximanderos…………………………………………………………………………..15
  3. Herakleitos……………………………………………………………………………….16
  4. Aristoteles………………………………………………………………………………..17
  5. Socrates…………………………………………………………………………………..18
  6. Zeno…………………………………………………………………………………...…20
  7. Protagoras………………………………………………………………………………..21
  8. Gorgias………………………………………………………………………………...…22
  9. Parmanides……………………………………………………………………………….23
  10. Plato……………………………………………………………………………………...24

C. FILSAFAT PADA ABAD PERTENGAHAN (SKOLASTIK)............................................27
1.       Plotinos………………………………………………………………………………27
2.       Aurelius Augustinus…………………………………………………………………30
3.       Thomas Aquinas……………………………………………………………………..35

D. FILSAFAT PADA ABAD MODERN……………………………………………………....42
  1. Renaissance........................................................................................................................42
  2. Rasionalisme......................................................................................................................44
  3. Idealisme............................................................................................................................47
  4. Empirisme..........................................................................................................................52
  5. Eksistensialisme.................................................................................................................56
  6. Pragmatisme.......................................................................................................................60

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................64


 
 

A. FILSAFAT UMUM

1.Pengertian Filsafat

A.     Filsafat ialah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.[1]

Maksudnya adalah bahwa filsafat itu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dengan sangat mendalam dan bagai mana sikap manusia itu sendiri setelah mencapai atau mengetahui pengetahuan itu.

B.     Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran dan untuk kebenaran tentang sesuatu yang di masalahkan dengan berfikir radikal,sistematis,dan universal.[2]

Maksudnya adalah bahwa berfilsafat itu mencari kebenaran yang paling benar dari yang benar tentang segala sesuatu atau secara umum memecahkan masalah yaang ada dengan berfikir secara bebas umum dan terbuka.

C.     Filsafat ialah keinginan yang mendalam untuk mendapat kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak.

Maksudnya adalah filsafat keinginan atau kemauan yang mendalam atau sangat besar untuk mendapatkan atau menjadi bijak.

Menurut Plato filsafat tidaklah lain dari pada pengetahuan tentang segala yang ada.Maksudnya ialah filsafat adalah ilmu yang umum meliputi segala hal yang ada di alam semesta ini.

Menurut Aristoteles bahwa berkewajiban filsafat ialah menyelidiki sebab dan asas segala benda dengan demikian filsafat bersifat ilmu yang umum sekali.[3]

D.     Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya,dengan kata lain filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.[4]

Dari enam pengertian tentang filsafat yang ada di atas menurut saya, pernyataan dari Prof.Drs.H.Hasbullah Bakry S.H lah yang lebih tepat karena filsafat itu bukan hanya ilmu yang menyelidiki tentang filsafat tetapi juga bagaimana sikap manusia setelah mendapatkan pengetahuan tentang filsafat itu sendiri.


2.Cara Mempelajari Filsafat

A.     Pertama dengan cara mempelajari sejarah perkembangannya sejak dahulu kala hingga sekarang (Methode Historis). Dan yang kedua dengan cara mempelajari isi, yakni mempelajari lapangan pembahasannya yang diatur biadang-bidang tertentu (Methode Sistematis).[5]

Maksudnya ialah ada dua cara mempelajari filsafat yaitu dengan metode historis yang mana metode ini mempelajari filsafat dengan cara mempelajari sejarahnya dari pertamakali timbulnya filsafat dan perkembanganya sampai sekarang dan yang kedua adalah metode sistematis yaitu dengan cara mempelajari isinya yakni mempelajari lapangan pembahasanya yang diatur pada bidang-bidang tertentu.

B.     Ada tiga macam metode mempelajari filsafat, metode sistematis,historis,keritis metode sistematis berarti pelajar menghadapi karya filsafat ,misalnya mula-mula pelajar menghadapi teori pengetahuan yang terdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu ia mempelajari teori hakikat yang merupakan cabang lain kemudian ia mempelajari teori nilai atau filsafat nilai.
Maksudnya bahwa metode sistematis ini mempelajari filsafat haruslah dengan cara berurutan atau teratur agar dapat memahami filsafat itu sendiri.[6]

Metode historis digunakan bila para pelajar mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarahnya jadi sejarah pemikiran, maksudnya bahwa mempelajari filsafat dengan mempelajari sejarahnya dari awal sampai dengan sekarang.

Metode kritis digunakan oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensif,pelajar haruslah sedikit banyak memiliki pengetahuan filsafat, pelajaran filsafat pada tingkat sekolah pascasarjana sebaiknya menggunakan metode ini. Disini pengajaran filsafat dapat mengambil pendekatan sistematis ataupun historis,langkah pertama ialah memahami isi ajaran kemudian pelajar mencoba mengajukan kritiknya.

Maksudnya mempelajari filsafat dengan metode kritis ialah seseorang haruslah mempunyai pengetahuan yang lebih banyak dan dengan metode ini seseorang harus mengambil pendekatan melalui metode sistematis dan historis, jadi dengan metode kritis ini kita mempelajari filsafat dengan menggabungkan dua metode sebelumnya.

C.     Cara mempelajari filsafat yang pertama: Analisa maksud pokok mengadakan analisa ialah melakukan pemeriksaan secara konsepsional yang dikandung oleh istilah-istilah yang kita pergunakan dan pernyataan-pernyataan yang kita buat.

Pemeriksaan ini mempunyai dua  macam segi kita mungkin berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam istilah-istilah yang bersangkutan,dan kita mungkin menguji istilah-istilah itu melalui penggunaanya, atau dengan melakukan pengamatan terhadap contoh-contohnya sintesa lawan analisa atau perincian ialah sintesa atau pengumpulan maksud sintesa yang pokok ialah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun pandangan dunia.

metode analisa mempelajari filsafat dengan mengumpulkan data-data dan sesudah semua data itu terkumpul barulah mengadakan pengujian dari data atau istilah-istilah yang terkandung atau bersangkutan dan akan didapat hasil dari analisa tersebut.[7]

Dari tiga cara mempelajari filsafat menurut saya pendapat Prof.Drs.H.Hasbullah Bakry S.H lah yang paling tepat karena adanya metode kritis dalam cara mempelajari filsafat yang mana metode ini menggunakan atau menggabungkan metode sistematis dan historis dalam mempelajari filsafat.

3.Timbulnya Filsafat

A.     Timbulnya filsafat adalah karena adanya keingin tahuan yang muncul dalam bentuk pertanyaan mengenai hal-hal yang menyangkut tentang takhayul dan dongeng.[8]
Maksudnya ialah filsafat itu timbul karena adanya keingintahuan yang mendalam tentang takhayul dan dongeng dalam masyarakat.
           
B.     Timbulnay filsafat ada empat hal yang merangsang timbulnya filsafat yaitu ketakjuban,ketidak puasan,hasrat bertanya,dan keraguan.
Ketakjuban banyak filsuf mengatakan bahwa yang menjadi awal kelahiran filsafat ialah (kekaguman,keheranan atau ketakjuban) istilah ketakjuban menunjuk dua hal penting yaitu bahwa ketakjuban itu pastimemiliki subjek dan objek, jika ada ketakjuban sudah tentu ada yang takjub dan ada sesuatu yang menakjubkan,ketakjuban hanya mungkin dirasakan dan dialami oleh makhluk yang selain berperasaan juga berakal budi.

Ketidak puasan,sebelum filsafat lahir berbagai mitos dan mite memainkan peranan yang amat penting dalam kehidupan manusia akan tetapi, ternyata penjelasan dan keterangan yang diberikan mitos-mitos dan mite-mite itu makin lama makin tidak memuaskan manusia, ketidak puasan itu membuat manusia terus-menerus mencari penjelasan dan keterangan yang lebih pasti dan meyakinkan.[9]
Hasrat Bertanya, ketakjuban dan ketidak puasan telah melahirkan pertanyaan-pertanyaan dan munculah hasrat bertanya, hasrat bertanya membuat manusia mempertanyakan segalanya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu tidak sekedar terletak pada wujud sesuatu melainkan terarah pada dasar dan hakikatnya.
Keraguan, manusia selaku penanya mempertanyakn sesuatu dengan maksud untuk memperoleh kejelasan dan keterangan mengenai sesuatu yang dipertanyakan itu tentu saja diajukan untuk memperoleh kejelasan dan keterangan yang pasti pada hakikatnya merupakan suatu pernyataan tentang adanya (keraguaan, ketidakpastian dan kebingungan) dipihak manusia yang bertanya.

C.     Timbulnya filsafat menurut para filsafat yunani adalah dari mana terjadinya alam itulah yang menjadi sentral persoalan bagi mereka, menurut para filsuf alam tersebut tidak mempercayai cerita-cerita yang demikian dan menganggapnya sebagai takhayul yang tidak masuk akal karena itulah mereka berusaha untuk mendapatkan keterangan tentang inti dasar alam itu dari daya pikirnyasendiri.[10]
Dari tiga pendapat tentang timbulnya filsafat menurut saya pendapat dari Jan Hendrik Rapar lah yang paling lengkap karena menggunakan empat hal yaitu ketakjuban, ketidak puasan,hasrat bertanya,dan keraguan.

4.Manfaat Filsafat

A.     Yang pertama sebagai nama bidang pengetahuan, filsafat digunakan sebagai nama bidang pengetahuan contohnya untuk menamai istilah-istilah dalam bidang ilmu pengetahuan yang mana bidang pengetahuan itu adalah cabang dari filsafat. Kedua digunakan untuk menamakan hasil karya yaitu apabila seseorang menciptakan hasil karya maka filsafat berguna untuk memberikan nama karya yang telah ia ciptakan tersebut. Ketiga untuk menunjukan nama suatu usaha filsafat juga digunakan untuk memberikan nama suatu usaha. Dan yang keempat untuk menamakan orang yang cinta pada kebijakan filsafat juga berguna untuk memberikan nama pada orang yang cinta kebijakan yang mana filsafat itu adalah cinta pada yang bijakan pengertian filsafat secara bahasa menurut filsafat yunai dan orang yang berfilsafat sering disebut filosof.[11]

B.     Filsafat itu dapat memberikan ketenangan pikiran dan kemantapan hati, sekalipun menghadapi maut, maksudnya bagi manusia berfilsafat itu berarti mengatur hidupnya seinsaf-insafnya, senetral-netralnya dengan perasaan tanggung jawab dengan sepenuhnya. Maksudnya filsafat itu dapat memberikan ketenangan hati dalam segalahal cotohnya berfikir dan memberikan perasaan tanggung jawab.

Rad Hakrishran dalam bukunya Histori of Philosopy Tugas filsafat bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju maksudnya fungsi filsafat adalah kreatif menetapkan nilai menetapakan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalaan baru. [12]
C.     Kegunaan manfaat filsafat bagi ilmu pengetahuan, tatkala filsafat lahir dan mulai tumbuh, ilmu pengetahuan masih merupakan bagian yang tidak dapat diingkari yang dengan jelas menunjukan bahwa ia benar-benar telah menampakan kegunaanya lewat melahirkan, merawat, dan mendewasakan berbagai ilmu pengetahuan yang begitu berjasa bagi kehidupan manusia.

Dalam kehidupan peraktis, filsafat memang abstrak, namun  tidak berarti filsafat sama sekali tidak bersangkut paut dengan kehidupan sehari-hari yang kongkret, keabstrakan filsafat tidak berarti bahwa filsafat itu tidak memiliki hubungan apapun jugaa dengan kehidupan nyata setiap hari, filsafat mengiringi manusia kepengertian yang terang dan pemahaman yang jelas, kemudian filsafat itu juga mengiringi manusia dan perbuatan yang kongkret berdasarkan pengertian yang terang dan pemahaman yang jelas.[13]

Dari empat pendapat mengenai manfaat filsafat saya lebih condong terhadap pendapat dari Drs.HM.Ghozi Badrie dan Drs.Daman Hurifathah, karena filsafat itu dapat memberikan ketenangan jiwa dan dalam berfikir.

5.Objek Filsafat

A.     Objek materi yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin ada tadi. Objek materi filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir dan lain-lain.Objek materi sains menyelidiki objek materi yang empiris.yang kedua objek forma yaitu sifat penyelidikan yang mendalam.[14]
     
B.     Objek filsafat, objek material yang diselidikinya yaitu mengenai semua yang ada, manusia,alam dan tuhan. Adapun yang beda adalah objek formalnya yaitu segi atau sudut dari materi yang diselidiki yang menjadi objek formal dari filsafat ialah hal-hal yang menyangkut hakikat, sifat dasar arti atau makna terdalam dari sesuatu itu misalnya mengenai manusia, yang dipersoalkan ialah mengenai apa hakikat manusia itu, tentu saja bukan hal-hal yang dapat dijangkau dengan pengamatan indera, tetapi sama sekali hanya dapat dicapai dengan kemampuan rasio, rasa dan logika, sebab tentang hakikat sesuatu  bukanlah mengenai hal yang sifatnya empirik.[15]
    
C.     Objek filsafat, adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, tidak terbatas, inilah yang disebut objek materi filsafat.Maksudnya objek filsafat itu meliputi segala hal yang ada di alam semesta ini yang bersifat tak terbatas dan mengenai apa yang ada dan yang tidak ada.[16]
Dari tiga pendapat mengenai objek filsafat saya lebih setuju dengan pendapat DR.Juhaya S, Praja yang mana pendapatnya bahwa objek filsafat itu meliputi segala hal /segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.

6.Karekteristik Filsafat

A.     Yang pertama sifat menyeluruh, kedua yakni sifat mendasar, dan yang ketiga yakni sifat spekulatif.[17]

B.     Sifat menyeluruh artinya filsafat melihat atau memandang objeknya secara menyeluruh (totalitas), kedua mendasar artinya filsafat menyelidiki objeknya sampai keakar-akarnya sampai ditemukannya kakekat sesuatu yang diselidikinya, ketiga bersifat spekulatif, artinya hasil yang diperoleh dari penyelidikan filsafat baru dugaan-dugaaan belaka dan bukan kepastian yang logis, masuk akal dan rasional bukan dugaan yang hampa.[18]
     
C.     Filsafat bersifat koheren, ialah bagan konsepsional yang merupakan hasil perenungan kefilsafatan haruslah bersifat runtut/berurutan, filsafat pemikiran secara rasional ialah bagan yang bagian-bagiannya secara logis berhubungan satu dengan yang lain, filsafat senantiasa bersifat menyeluruh (komperhensif) filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang dunia seluruhnya yang termasuk dirinya sendiri, filsafat mencari kebenaran tentang segala sesuatu dan kebenaran harus dinyatakan dalam bentuk yang paling umum.[19]
     
D.     Sifat dasar filsafat , berfilsafat berarti berfikir secara radikal (berfikir bebas), filsuf adalah pemikir yang radikal karena berfikir secara radikal ia tidak akan terpaku hanya pada fenomena tertentu, keradikalan berfikirnya itu akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menentukan akar kenyataan, yang kedua mencari asas, dalam filsafat bukan hanya bukan hanya mengacu kepada bagian tertentu dari realitas melainkan kepada keseluruhannya dalam memandang keseluruhan relitas filsafat senantiasa mencari asas yang paling hakiki dari keseluruhan realitas. Yang ketiga memburu kebenaran filsuf adalah pemburu kebenaran, kebenaraan yang diburunya adalah kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa filsafat berarti memburu kebenaran tentang segala sesuatu, yang keempat mencari kejelasan salah satu penyebab lahirnya filsafat ialah keraguan, untuk menghilangkan keraguan diperlukan kejelasan, ada filsuf yang mengatakan bahwa berfilsafat berarti berupaya mendapatkan kejelasan dan penjelasan mengenai seluruh realitas, berfikir rasional berfikir secara radikal, mencari asas, memburu kebenaran, dan mencari kejelasan tidak mungkin dapat berhasil dangan baik tanpa berfikir secara rasional, berfikir secara rasional berarti logis, sistematis, dan kritis.[20]
Dari empat pendapat tentang ciri/karakteristik filsafat menurut saya pendapat DR.Juhaya S, Praja lah yang lebih tepat karena filsafat menurutnya bersifat menyeluruh,mendasar dan spekulatif.
Dasar-dasar pengetahuan

1.Logika

A.     Membicarakan norma-norma berfikir benar agar diperoleh dan terbentuk pengetahuan yang benar, ada 2 logika. Pertama formal adalah logika yang memberikan norma berfikir benar dari segi bentuk (form) berfikir. Yang kedua logika material tentang apakah isinya benar atau salah.[21]

B.     Logika adalah cara penarikan kesimpulan atau pengkajian untuk berpikir secara sahih, terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan namun untuk memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan mempelajari 2 jenis saja yang pertama logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum yang dimaksud logika induktif  ialah bahwa dalam penarikan kesimpulan diambil dari yang bersifat khusus/individual menjadi umum, sedangkan logika deduksi adalah cara berfikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulanyang bersifat khusus dua buah pernyataan 1 kesimpulan.[22]    

C.     Logika ialah ilmu pengetahuan mengenai penyimpulan yang lurus, ilmu pengetahuan ini menguraikan tentang aturan-aturan serta cara-cara untuk mencapai kesimpulan setelah didahului oleh suatu perangkat premisi. Logika deduktif membicarakan cara-cara untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan bila lebih dahulu telah diajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai semua atau sejumlah ini diantara suatu kelompok barang sesuatu. Logika induktif , logika yang membicrakan tentang penarikan kesimpulan bukan dari pernyataan-pernyataan yang umum melainkan dari hal-hal yang khusus kesimpulannya hanya bersifat probabilitass berdasarkan atas pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan.[23]
     
Dari tiga pendapat tentang logika menurut saya pendapat Prof.DR.Ahmad Tafsir lah yang lebih tepat karena menggunakan logika induktif dan deduktif.

2.Penalaran

A.     Merupakan berfikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang bersumber pada rasio dan fakta, rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham yang kemudian disebut sebagai rasionalisme, sedangkan fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.[24]
         
B.     Penalaran/berifkir adalah bicara dengan dirinya sendiri di dalam batin mempertimbangkanya, merenungkannya, menganalisis, membuktikan sesuatu/menujukan alasan-alasan menarik kesimpulan meneliti suatu jalan pikiran mencari bagaimana berbagai hal berhubungan satu sama lain, mengapa atau untuk apa sesuatu terjadi, membahaskan suara realitas.[25]

C.     Penalaran ialah suatu bentuk rangkaian bentuk-bentuk pernyataan yang disusun sedemikian rupa yang berbentuk penalaran deduktif.[26]
     
D.     Dalam mengadakan penalaran atau mengambil kesimpulan, manusia dapat menempuh dua jalan, dengan jalan induksi dan deduksi.
Induksi adalah suatu metode yang berdasarkan sejumlah hal khusus untuk tiba pada suatu kesimpulan yang bersifat boleh jadi, dikatakan bersifat boleh jadi atau kemungkinan, karena hal-hal khusus sebagai data hanyalah mendukung atau menhuatkan kesimpulan yang bersangkutan, tetapi tak mutlak menjamin kebenarannya, mungkin benar  mungkin salah, boleh jadi benar boleh jadi tidak. Menurut Aristoteles bahwa induksi adalah metode yang bertolak dari hal-hal khusus menuju ke hal-hal yang bersifat umum,

Ada dua macam induksi, yaitu induksi sempurna dan induksi tidak sempurna,
Induksi sempurna peneliti (observer) menyelidiki seluruh subjek atau individu atau hal dalam kelasnya tanpa suatu pun yang meleset, dari hasil penyelidikan itu kita kemudian mengambil kesimpulan yang sifatnya lebih umum. Misalnya: akan menyimpulkan apakah apel satu kerangjang itu manis semua atau tidak. Peneliti dalam hal  ini mencoba seluruh apel yang  ada dalam keranjang itu tanpa satupun yang meleset, inilah  mengapa disebut induksi sempurna, karena kesimpulan ditarik dari seluruh hal khusus tanpa kecuali masalahnya dapat kah kita menyelidiki seluruh populasi bila populasinya banyak sekali dan sangat luas hal ini dipertanyakan atau menjadi masalah, karena dalam penelitian biasanya serba terbatas baik anggaranya, waktu dan tenaganya,

Induksi tidak sempurna peneliti tidak membutuhkan seluruh subjek, individu atau hal untuk diselidiki semuanya, melainkan cukup terhadap sebagian saja dari subjek atau individu dari kelas itu, jadi melihat prosedur penyelidikan induktif tidak sempurna mengikutibprosedur penyelidikan sample (sampling study) sungguh pun begitu kesimpulan dari penyelidikan terhadap sample subjek, individu atau hal hendak dikenakan pada seluruh subjek, individu atau hal hendak dikenakan pada seluruh subjek, individu atau hal yang belum atau tidak diselidiki

Misalnya: kucing butuh makan, kerbau butuh makan lembu butuh makan, jadi semua hewan butuh makan
Melihat contoh tersebut, tidak semua hewan diteliti dan hanya sebagian saja dari hewan, dari sebagian itu kesimpulanya untuk seluruh hewan. Inilah yang disebut induksi tidak sempurna karena seluruh subjek dalam kelas itu tidak sempurna di teliti, tidak semua diteliti, oleh sebab itu, induksi tidak sempurna dikenal sbg generalisasi.

Deduksi adalah suatu metode penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian dari pernyataan yang merupakan pangkal fikfir (premis), kesimpulan itu merupakan kelanjutan yang sah dan tak terhindarkan dari pangkal fakir (premis) yang bersangkutan, kalau pangkal fikirnya benar, maka kesimpulanya benar,

Kita sering mengartikan deduksi sebagai suatu metode penalaran yang berpangkal dari pendapat umum untuk tiba pada suatu kesimpulan yang bersifat khusus, jadi jalan yang  ditempuh deduksi berlawanan dengan induksi dan perlu diingat adalah, dalam deduksi kesimpulannya merupakan suatu kemestian, artinya mau tidak mau harus begitu
Misalnya: semua mahasiswa adalah manusia, Nunung adalah mahasiswa, jadi Nunung adalah manusia

Prinsip deduksi adalah: “apa saja yang dipandang benar semua peristiwa dalam suatu kelas atu jenis, berlakujuga sebagai hal yang benar pada semua peristiwa yang termasuk dalam kelas ataupun jenis itu.[27]

Dari empat pendapat mengenai penalaran menurut saya pendapat Dr.W.Poespopradjo, L.ph.s.s. lah yang paling tepat karena menurutnya penalaran adalah bicara dengan dirinya sendiri didalam batin mempertimbangkan,menganalisis,membuktikan dan menyimpulkan.

3.Sumber Pengetahuan

A.     Sebenarnya ada dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu: pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio,maksudnya ialah mendasarkan sumber pengetahuan itu dengan pemikkiran dan akal sehat sesuai rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman, maksudnya ialah mendasarkan sumber pengetahaun itu dengan pengalaman para filosof atau pendapat-pendapat para filosofi yang dahulu sampai sekarang.[28]
B.     Sumber pengtahuan, dalam sejarah filsafat lazimnya dikatakan, bahwa pengetahuan diperoleh melalui salah satu dari empat jalan:
·      Pengetahuan itu kita bawa lahir bersama kita
·      Atau kita peroleh dari budi pekerti
·      Atau berasal dari indera-indera khusus, yaitu penglihatan, pendengaran, ciuman, rabaan
·      Atau ia berasal dari penghayatan langsung atau ilham.[29]
     
C.     Sumber pengetahuan manusia itu dapat di bagi dalam tiga kategori yaitu pengetahuan indera, pengatahuan ilmu dan pengetahuan filsafat, kita melihat, mendengar merasa, mencium segala sesuatu, pengalaman pancaindera ini melalui proses pemikiran langsung menjadi pengetahuan, yang kita istilahkan disini dengan pengatahuan indera, kita berfikir secara sistematis dan radikal disertai dengan risetdan/eksperimen hasil berfikir dan berbuat denagn metode-metode ini membentuk pengetahuan pula, yang diistilahkan dengan pengetahuan filsafat dapat disimpulkan, semua miliki atau isi pikiran ialah pengetahuan.[30]

Dari tiga pendapat tentang sumber pengetahuan menurut saya pendapat Jujun S.Suriasumantri lah yang paling tepat karena menurutnya sumber pengetahuan itu berasal dari rasio dan pengalaman.


4.Kreteria kebenaran

A.     kreteria kebenaran berdasarkan pada:
Teori koherensi, dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelum yang dianggap benar.
Teori korespondensi, suatu pernyataan benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi.
Teori pragmatis, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.[31]
  
B.     Adalah soal hubungan antara pengetahuan dan apa yang jadi objeknya, yaitu apabila terdapat persesuaian dalam, hubungan antara objek dan pengetahuan kita tentang objek itu, dengan demikian masalah kebenaran adalah masalah hubungan antara ide-ide kita dengan dunia realitas.[32]

C.     Teori tentang kebenaran,teori korespondensi atau keadaan benar itu berupa kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya,kebenaran ialah sesuatu yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi aktul.kebenaran ialah persesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan faktaaktual; atau antara putusan (judgetment) dengan situasi seputar (environmental situation) yang diberinya interprestasi
Teori koherensi tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgetment) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri,
Teori Pragmatis benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil atau teori tersebut bagi untuk bertindak dalam penghidupannya.[33]

Dari tiga pendapat mengenai kreteria kebenaran menurut pendapat saya teori dari Jujun S.Suriasumantri lah yang paling tepat karena kreteria kebenaran itu berdasarkan pada teori koherensi (konsisten)fakta,korespondensi, teori pragmatis bersifat fungsional bagi kehidupan praktis.


Perbandingan Filsafat, Agama, Ilmu dan Kebudayaan

1)      Perbandingan Filsafat dan Agama: Filsafat adalah pengetahuan yang dasar pembuktian kebenaranya merupakan penyelidikan sendiri dsedangkan agama kebenarannya di terima oleh manusia (penganut agama), karena di firmankan oleh Tuhan. Manusia percaya kepada Tuhan yang memberi wahyu.

Hubungan filsafat dan agama: seperti perahu dan mercusuar, perahu mempunyai juru mudi dengan kemudinya. Ia menuju ke pelabuhan mercusuar menunjuk di mana letaknya pelabuhan itu, jadi agama ialah sebagai penerang/ petunjuk arah bagi orang yang berfilsafat.[34]

Filsafat mengejek agama bahwa setelah beribu-ribu tahun filsafat itu mencari kebenaran, yang ditemukannya hanya kebenaran semu, filsafat menjawab dengan ejekan pula kami ingin kebenaran yang kami uasahakan dengan tenagan kami sendiri, kami tidak seperti anak kecil, yang mudah percaya saja tentang apa yang dikatakan kepadanya.

Hubungan filsafat dan agama: persamaan antara filsafat dan agama ialah masing-masing merupakan sumber nilai, terutama nilai etika.[35]

Perbandingan filsafat dan agama: dasar penyelidikan kebenaran filsafat bukanlah sebagaimana agama ialah atas wahyu Tuhan, kebenaran agama tercantum kepada yang diwahyukan atau tidaknya. Dengan kata lain dasar penyelidikan filsafat tidak ats dasr wahyu, tetapi penyelidikan akal budi belaka, filsafat dan agama kedua-duanya mencari.

Hubungan filsafat dan agama: filsafat dan agama bertumpu pada objek materialnya, yang ada dan mungkin ada, misalnya Tuhan, kebijaksanaan baik dan buruk dll, dan kedeanya mencari kebenaran.[36]

2)      Perbandingan filsafat dan ilmu: Kebenaran ilmu adalah sepanjang pengalaman, sedangkan kebenaran filsfat sepanjang pemikiran. Ilmu mencari pengetahuan dari segi-segi tertentu, bidang khusus. Sedangkan filsafat mencari pengetahuan adri semua segi dan bidang menyeluruh. Ilmu mempelajari unsur-unsur alam benda-benda mati saja, tanaman, hewan, menusia saja bumi saja, bulan saja, matahari saja, bintang saja, filsafat mempelajari pengetahuan seluruh alam.

Hubungan ilmu dan filsafat: perkembanagn ilmu harus bersama-bersama dengan filsafat, bahkan ada yang menyamakan filsafat dengan ilmu.[37]

Perbandingan filsafat dan ilmu: Ilmu mengakui sendiri, bahwa ia membatasi diri, ia berhenti pada dan berdasarkan pengalaman, filsafat tidak membatasi diri, ia mencari keterangan sedalam-dalamnya maka dengan istilah tersebut dikatakan bahwa objek formal ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya.

Hubungan ilmu dan filsafat: keduanya merupakan sumber pengetahuan, dala mencari kebenaran keduanya mempunyai sistem dan metode masing-masing dan keduanya bertemu pada objek materialnya.[38]
Perbandingan filsafat dan ilmu: Beda antara Filsafat dan ilmu ialah cara penyelidikan atau cara pemikiran, yang mengakibatkan cara pembuktiannya.

Hubungan filsafat dan ilmu: Adapun yang diselidiki memang sama yaitu yang ada dan mungkin ada.[39]

3)      Perbandingan filsafat dan kebudayaan: apabila kita pebandingkan definisi kebudayaan dan definisi filsafat, kebudayaan bertemu dalam hal berfikir, kebudayaan adalah cara befikir. Sedangkan berfilsafat ialah berfikir secara sistematis, radikal, universal, berfikir demikian berujung pada sikap jiwa.

Hubungan filsafat dan kebudayaan: kebudayaan itu adalah filsafat, sekalipun filsafat merupakan salah satu kultur universal, adalah ia mempengaruhi seluruh kebudayaan dan dominan, di perbandingkan denagn kultur universal yang lain-lain.[40]

Perbandingan filsafat dan kebudayaan: perbandingan filsafat dan kebudayaan keduanya bertrmu dalam hal berfikir, kebudayaan adalah cara berfikir sedang filsafat adalh berfikir secara sistematis, radikal dan universal.

Hubungan keduanya dengan demikian bahwa filsafat itu mengendalikan cara berfikir kebudayaan, dibelakang kebudayaan selalu ditemukan filsafat, dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang menentukan kebudayaan itu adalah filsafat.[41]



















B. FILSAFAT PADA ZAMAN YUNANI KUNO

1. Thales (625-545 SM )

A.     Menurut dia, asas pertama yang menjadi asal mula segala sesuatu adalah air.               Barangkali penemuanya didasarkan atas kenyataan, bahwa air dapat di amati dalam bentuknya yang bermacam-macam. Air tampak sebagai benda halus (uap), sebagai benda cair (air), dan sebagai benda yang keras (es). Air terdapat pada bahan makanan, tetapi juga pada batu padas yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.[42]
B.     Thales berpendapat bahwa dasar pertama atau intisari alam ialah air.[43]

C.     Kesimpulan Filsafat Thales Adalah: Bahwa dasar pertama atau intisari dalam ialah air. Filsafat jiwa; Thales berpendapat bahwa, tak ada yang memisahkan antara hidup dan mati. Semuanya satu. Thales percaya bahwa segala sesuatu benda itu berjiwa. Benda bisa berubah rupanya, bisa timbul dan bisa hilang, semua itu atas kodratnya sendiri. Kalau kita lihat filsafat Thales tersebut masih Animisme. Animisme ialah suatu kepercayaan, bahwa semua benda berjiwa.[44]

D.     Menurut Thales: yang azali adalah Allah, Sebab Dia tidak dijadikan, asal dari segala benda adalah air, Thales berpendapat, sebagai yang diterangkan oleh Aristoteles bahwa asal dari semua benda (almaujudat ul maddiyah) ialah air. Semua dari air dan akan kembali menjadi air. Jadi air adalah asal dari segala benda yang ada dan yang jadi, dan juga akhir dari segala yang ada yang jadi itu. Semua benda itu berjiwa, biarpun benda mati, pendapat ini didasarkan kepada pengalaman bahwa kahraba (ambar kuning) dan besi yang digosok sampai panas dapat menarik barang yang dekat kepadanya, itu disebabkan karena di dalamnya ada ”jiwa”.[45]

E.      Menurut keterangan Aristoteles, kesimpulan ajaran Thales ialah ”semuanya itu air”. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok dan dasar (principe) segala-galanya. Semua barang terjadi dari pada air dan semuanya kembali kepada air pula. Dalam pandangan Thales tak ada jurang yang memisahkan hidup dan mati. Semuanya satu! Dan sebagai orang menurut masanya, ia percata bahwa segala benda itu berjiwa.[46]

F.      Menurut Thales prinsip alam semesta ini adalah air, semuanya berasal dari air dan semuanya kembali lagi menjadi air, mungkin Thales beranggapan demikian karena air mempunyai berbagai bentuk: cair, beku, uap. Menurut Thales bumi terletak di atas air dan pendapat Thales bahwa jagat raya berjiwa, sering kali disebut “hylezoisme” (teori mengenai materi yang hidup).[47]

2. Anaximandros (590-528 SM)

A.     Menurut dia perinsip terakhir itu ialah to apeiron: “yang tak terbatas” (peras = batas). Apearon itu bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan dan meliputi segala-galanya. Bagaimana dunia timbul dari prinsip “yang tak terbatas” itu? Oleh karena suatu perceraian (ekkrisis), maka dilepaskan dari apeiron itu unsur-unsur yang berlawanan (ta enantia): yang panas dan yang dingin, yang kering dan yang basah, unsur-unsur itu selalu berperang yang satu dengan yang lain. Musim panas, misalnya,musim panas selalu mengalahkan musim dingin dan sebaliknya.[48]

B.     Anaximandros mengatakan bahwa dasar pertama itu ialah zat yang tak tertentu sifat-sifatnya, yang dinamainya to aperion.[49]

C.     Kesimpulan filsafatnya antara lain: filsafat alam, yang asal itu tidak berhingga dan tidak berkeputusan (al awal dan al akhir), yang asal sebagai dasar alam menurut Anaximandros disebut ”Apiron”. Apiron itu tidak dapat dipersamakan dengan yang nampak didunia ini, ia mesti berbeda dan segalanya yang baharu (hadis), filsafat jiwa, menurut Anaximandros, bahwa jiwa sebagai dasar kehidupan ialah serupa dengan udara.[50]

D.     Anaximandros terkenal dengan teori ”first principle” (asal yang pertama). Asal yang pertama itu dinamakan ”apeiron” kesimpulan teori ini ialah:

·        Dari Apeiron itulah timbulnya alam ini.
·        Apeiron itu tiada berakhir (kekal) dan tiada berhenti-hentinya bekerja, karena yang dijadikan apeiron itu tidak terhingga banyaknya, sebagai yang kelihatan , sebab itu apeiron haruslah kekal, tidak berakhir, dan selalu bekerja.
·        Segala yang kelihatan itu, yakni yang dapat ditangkap oleh panca indera, adalah barang yang berakhir (yang mempunyai batas). Sedangkan apeiron tidak.
·        Segala yang dapat dilihat dan diraba itu selalu dalam perobahan dan kejadian. Ia jadi dan hidup, kemudian mati dan lenyap, sedangkan apeiron tidak.[51]

E.      Yang asal itu yang menjadi dasar alam dinamai oleh Anaximandros ”Apeiron”. Apeiron itu tidak dapat dirupakan, tak ada persamaanya dengan salah satu barang yang kelihatan di dunia ini, segala yang kelihatan itu, yang dapat ditentukan rupanya dengan pancaindra kita, adalah barang yang mempunyai akhir, yang berhingga.[52] 




3. Herakleitos (535-475 SM)

A.     Menurut Herakleitos dengan istilahnya sendiri: panta rhei artinya: ”semua mengalir”. Satu-satunya realitas adalah perubahan, tak terdapat yang tetap, realitasnya ialah berubah atau menjadi itu. Sebab itu filsafatnya disebut ”filsafat menjadi”. Ada menurut Herakleitos tak terdapat, itu bukanlah realitas, adapun yang terdapat hanyalah menjadi belaka, itulah keterangan sedalam-dalamnya bagi segala-galanya. Malahan ditarik kesimpulan lebih lanjut, bahwa yang menjadi sebab atau keterangan yang sedalam-dalamnya itu ialah gerak, perubahan atau menjadi itu.[53]

B.     Filsafatnya adalah filsafat tentang ”menjadi”. Tidak ada satupun yang betul-betul berada, sebab semuanya ”menjadi”. Segala sesuatu yang ada bergerak terus-menerus, bergerak secara abadi. Segala sesuatu berlalu dan tiada sesuatu yang tetap. Perubahan terjadi dengan tiada hentinya, Herakleitos juga yakin akan adanya asas pertama. Asas pertama itu ditemukannya dalam api, segala sesuatu keluar dari api dan akan kembali lagi ke api. Api disini adalah lambang perubahan. Nyala api senantiasa makan habis bahan bakar baru. Bahan bakar senantiasa berubah menjadi asap atau abu, oleh karena itu api adalah lambang kesatuan dalam perubahan.[54]

C.     Bahwa ia juga mengatakan satu saja anasir yang asal, yang menjadi pokok alam dan segala-galanya. Anasir yang asal itu menuruti pendapatnya api, api itu lebih dari pada air dan udara, dan setiap orang dapat melihat siftanya sebagai mudah bergerak dan mudah bertukar rupa, api yang selalu bergerak dan berubah rupa itu menyatakan, bahwa tak ada yang tenang dan tetap. Yang ada hanya pergerakan senantiasa. Tidak ada yang boleh disebut ada, melainkan menjadi. Semuanya itu dalam kejadian.[55] 

D.     Pokok-pokok filsafat Herakleitos adalah sebagai berikut:
    1. Unsur yang asal yang jadi pokok bagi alam dan segalanya ialah api.
    2. Segala benda alam ini selalu berubah, tidak ada yang tidak berubah.
    3. Kemajuan timbulnya dari pertentangan dan perjuangan.
    4. Alam ini tertib, karena adanya undang-undang alam.
    5. Barang yang satu itu bisa jadi baik dan bisa jadi jahat pada waktu itu juga, yakni ada yang baik semata-mata atau jahat semata-mata.[56]

E.      Kesimpulan filsafatnya adalah: anasir yang satu adalah api. Bahwa api itu lebih dari air dan udara api sifatnya bergerak dan mudah berganti warna. Api membakar semuanya, jadi api kemudian jadi abu, segalanya menjadi api, dan api berubah menjadi semuanya.[57]



4. Aristoteles (384-225 SM)

A.     Filsafat-filsafat Aristoteles adalah sebagai berikut: tentang alam, dalam pandangannya alam meliputi semuanya yang berhubungan dengan materi dan bahan-bahan yang bergerak dan diam, tentang etika, adapun tingkah laku manusia ini ditunjukan kepada kebahagiaan, sebetulnya semua tindakan tertujukan kepada kebahagiaan.[58]
B.     Adapun filsafat Aristoteles selain berdasarkan kepada pikiran, juga berdasarkan kepada penglihatan, pengalaman, dan perbandingan, tentang ketuhanan: Khalik itu ada (wajib wujud), Khalik yang wajibul wujud itu tiada berubah-ubah, alam itu menuju kepada kenaiakan dan kesempurnaan, filsafat jiwa: manusia itu mempunyai jiwa, kesenangan jiwa diakhirat.[59]
C.     Filosofi alam: dalam pandangan Aristoteles , alam meliputi semuanya yang berhubungan dengan materi dan badan-badan yang bergerak dan diam, perubahan atau gerakan dalam arti luas dapat dibagi dalam timbul dan lenyap, gerakan dalam arti yang terbatas merupakan perubahan kwantita, perubahan kwalita dan perubahan tempat.[60]
D.     Menurutnya Allah sebagai ”penggerak pertama yang tidak digerakan”, dan gerak dalam jagat raya tidak mempunyai permulaan maupun penghabisan. Karyanya Eudemos dan perihal jiwa, Aristoteles disini tanpa ragu-ragu menerima beberapa pokok ajaran Plato seperti Pra-eksistensi jiwa, perpindahan jiwa, dan anggapan bahwa pengetahuan dapat disamakan dengan pengingatan. Adapun karya-karya Aristoteles, logika, filsafat alam, pisikologi metafisik, etika, politik dan ekonomi, retorika dan poetika.  [61]
E.      Adapun ajaran-ajaran filsafat Aristoteles sebagai berikut: logika sebagai ajaran tentang berfikir yang secara ilmiah, yang membicarakan hal bentuk-bentuk pikiran itu sendiri (pengertian, pertimbangan dan penalaran) dan hukum-hukum yang menguasai pikiran itu, yang ada sebagai potensi ini pada dirinya bukanlah sesuatu, sekalipun dapat menjadi sesuatu. ”yang ada” sebagai potensi ini senantiasa cenderung menjadi ”yang ada secara terwujud”, sehingga ”yang ada” sebagai potensi dapat dipandang sebagai perealisasian dari ”yang ada” secara terwujud. Secara hakiki keduanya harus dibedakan, akan tetapi dapat dipisah-pisahkan. Penyimpulan adalah suatu penalaran, dengannya dari dua pertimbangan dilahirkan pertimbangan yang ketiga, yang baru, yang berbeda dengan kedua pertimbangan yang mendahuluinya, misalnya, manusia adalah fauna, Gayus adalah manusia, jadi: Gayus adalah fauna. Bahwa karya-karya Aristoteles tentang ”filsafat pertama”, yang mengenai hal-hal yang bersifat gaib, ditempatkan sesudah karya-karyanya tentang fisika (meta ta fusika). Kata meta mempenyai arti rangkap, yaitu sesudah dan di belakang. Judul meta ta fusika ketika itu dipandang sebagai tepat sekali untuk dipakai guna mengungkapkan isi pandangan-pandangan yang mengenai ”hal-hal yang di belakang gejala-gejala fisik”.[62]
F.      Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah  melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda. Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya  oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan. Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif  dan metode empiris-induktif.  Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir.  Logika dibentuk dari kata logikoz, dan logoz berarti sesuatu yang diutarakan.  Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal. Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna.  Itu berbeda dari Plato.  Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme":  apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang sama.  Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda.   Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama.  Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah". Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria yang belum lengkap".  Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam".  Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan "substansi". Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche", Latin: anima).  Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam dirinya.  Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima "logoz".  Itu membuat manusia memiliki bahasa. Pemikiran Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya.  Pengaruhnya terasa sampai kini, -- itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data.  Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.[63]

5. Socrates (470-399 SM)_

A.     Menurut Socrates, alat untuk mencapai eudaimonia atau kebahagiaan ialah kebijakan atau keutamaan (arete), pendirian socrates yang terkenal adalah: ”keutamaan adalah pengetahuan”. Keutamaan di bidang hidup baik tentu menjadikan orang dapat hidup baik. Hidup baik berarti: memperaktekan pengatahuanya tentang hidup baik itu, jadi baik dan jahat dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan kemauan manusia.[64]
B.     Pokok-pokok filsafat socrates antara lain: kebenaran umum itu ada, mengenal diri: ”manusia hendaklah mengenal diri sendiri, jangan membahas yang di luar diri, hanya kembalilah kepada diri”.taat kepada undang-undang, adanya akal yang mengatur,keabadian roh.[65]
C.     Menurut socrates filsafat ialah tidak lain dari usaha melalui pengertian (sejati) untuk mencapai kebijakan. Dalam pada itu ada kesulitannya. Menurut Socrates barang siapa mempunyai pengertian dan pengetahuan yang baik tentulah berlaku baik. Ia amat mengutamakan pengajaran, tidak mengutamakan pendidikan. [66]
D.     Bagi dia filsafat bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran berdasarkan dogma, melainkan fungsi hidup. Filsafatnya mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan , ia bukan ahli pengetahuan melainkan pemikir. Tujuan filsafat socrates, ialah mencari kebenaran yang berlaku selama-lamanya. Tentang kebenaran menurut socrates dalam mencari tidak berfikir sendiri, melainkan berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Tentang etika, socrates mengatakan budi ialah tahu, maksudnya, budi-budi timbul dengan pengetahuan. Inilah intisari daripada etikanya. Orang yang berpengalaman dengan sendirinya berbudi baik mengetahuai hukum mestilah bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu. Dari ucapanya itu dapat diketahui, bahwa ajaran etika socrates intelektual sifatnya selain itu juga rasionalitas.[67]
E.      Menurutnya filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang bersandarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengatahuan, melainkan pemikir. Socrates berpendapat, kebenaran itu tetap dan harus dicari. Dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Socrates mencari pengertian, yaitu bentuk yang tetap daripada sesuatunya.[68]
F.      Sokrates  menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat.  Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu.  Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates "menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa "memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa ke pengadilan kota Athena.  Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.[69]

6. Zeno (490-430 SM)

A.     Menurut Zeno dialektika, yaitu suatu argumentasi yang bertitik tolak dari suatu pengandaian atau hipotesa, dan dari hipotesa tersebut ditarik suatu kesimpulan. Dalam melawan penentang-penentangnya kesimpulan yang diajukan oleh zeno dari hipotesa yang diberikan adalah suatu kesimpulan musathil, sehingga terbukti bahwa hipotesa itu salah. Menurut zeno gerak itu sebenarnya tidak ada dan tidak mungkin. Jika orang melepaskan anak panah: terlihatlah gerak anak panah itu? Yang dilihatnya tidak lain dari hal: anak panah itu sekarang ini ada di sini, disitu kemudian disana. Jadi bukan gerakannya yang terdapat melainkan yang merupakan realitas ialah adanya.[70]

B.     Menurut dia terhadap paham yang mengatakan bahwa ” yang banyak” itu ada, ia berkata: jika benar ada yang banyak itu, ia dapat dibagi-bagi bagian-bagiannya pun dapat lagi dibagi-bagi. Demikian juga bagian daripada bagian, dan seterusnya. Akhirnya tiap-tiap bagian itu jadi begitu kecil dan tak punya ukuran (bangun) lagi. Terhadap paham yang mengatakan, ada ruang, Zeno berkata: jika yang ada berada dalam sebuah ruang, ruang itu sudah tentu tempatnya dalam ruang pula. Dan ruang yang kemudian ini terletak lagi dalam sebuah ruang. Demikianlah seterusnya dengan tiada berkeputusan: ruang dalam ruang.[71]

C.     Zeno mempertahankan benar kesatuan ada ini dan mengingkari benar gerak. Jika orang melepaskan anak panah: terlihat gerak anak panah itu? Yang dilihatnya tidak lain dari hal: anak panah itu sekarang ini ada di sini, di situ dan kemudian di sana.Jadi bukan gerakanya yang terdapat melainkan yang merupakan realitas ialah ada-nya.[72]
D.     Menurut Zeno gerak ialah suatu khayalan, dan bahwa tidak ada kejamakan serta tiada ruang kosong, ada bermacam-macam alasan yang dikemukakan untuk membuktikan, bahwa gerak adalah suatu khayalan. Diantaranya adalah, bahwa Akhilles, pelari termasyur yunani, tidak akan pernah dapat mengejar seekor kura-kura yang berjalan di depannya dalam jarak tertentu. Sebab setiap kali Akhilles sampai di tempat kura-kura mulai berjalan, kura-kura itu sudah meninggalkan tempat startnya. Demikian itu terjadi terus –menerus.[73]

E.      Menurut Zeno berkata: ” kalau ada yang banyak tentu dia dapat dibagi-bagi. Hasil bagian itu pun dapat pula dibagi-bagi, sampai tiap-tiap bagian itu sudah jadi begitu kecil hingga tiada mempunyai bangun lagi, dengan lain perkataan ia menjadi sekecil titik yang tiada mempunyai besar dan bangun.[74]

7. Protagoras(480-411 SM)

A.     Inti sari dari filsafatnya ialah, bahwa manusia menjadi ukuran bagi segala sesuatu, bagi segala hal yang ada dan yang tidak ada. Manusialah yang menentukan benar dan tidaknya sesuatu atau ada dan tidak adanya sesuatu, artinya: apakah sesuatu benar atau tidak, hal itu tergantung kepada orangnya, menurut protagoras, negara didirikan oleh manusia, bukan karena hukum alam, guna mengatasi kesukaran-kesukaran yang ditimbulkan oleh hidup bersama itu mereka menciptakan apa yang disebut keadilan (dike) dan hormat terhadap orang lain (aidos).[75]

B.     Bagi Protagoras ” manusia itu adalah ukuran bagi segalanya, bagi yang ada karena adanya, bagi yang tidak ada karena tidaknya, maksudnya bahwa semuanya itu harus ditinjau dari pendirian manusia sendiri-sendirinya. Kebenaran umum tidak ada. Pendapatku adalah hasil pandanganku sendiri. Pandangan berubah-ubah menurut yang dipandang yang benar sekarang, besok barangkali tidak lagi. Sebab itu tiap-tiap pandangan bergantung kepada dua macam gerakan. Mencari pengetahuan juga memandang, sekalipun memandang dari dalam denagn jiwa, dengan pikiran.[76]

C.     Filsafat protagoras dapat dirumuskan sebagai berikut:
·        Bagi protagoras manusia adalah ukuran segalanya bagi yantg ada karena adanya, bagi yang tak ada karena tidaknya.
·        Bagi, protagoras kebenaran umum tidak ada. Maksudnya bahwa semua itu harus ditinjau dari pendirian manusia sendiri-sendirinya, pandanagn berubah-ubah menurut yang benar sekarang, besok tidak lagi.
·        Tentang dewa, dewa yang dihormati orang grik pada waktu itu ia berkata bahwa ia tak tahu ada atau tidak ada.[77]

D.     Menurut ia ”manusia adalah ukuran untuk segala-galanya: untuk hal-hal yang ada sehingga mereka ada dan untuk hal-hal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada. Dan tiap-tiap negara mempunyai kebiasaan sendiri. ”mengenai dewa-dewa saya tidak merasa sanggup menetapkan apakah mereka ada atau tidak.[78]

8. Gorgias (480-380 SM)

A.     Menurut dia tak terdapat sesuatu yang ada. Jika sekiranya terdapat yang itu, kita toh tak dapat tahu akan ada itu. Jika sekiranya tahu juga, kita toh tak mungkin memberitahukan.[79]

B.     Menurut dia tak ada yang benar baginya, sebab itu ia disebut nihilis. Dasar yang dikemukakannya sebagai alasan meniadakan ada tiga: pertama, tak ada sesuatunya, sebab kalu ada sesuatunya, mestilah ia terjadi dan pula selama-lamanya, terjadi itu tidak bisa timbul dari yang ada atau dari yang tidak ada, ada selama-lamanya mustahil pula, sebab ada selama-lamanya itu sama dengan tidak berhingga. Kedua, jika sekiranya ada sesuatunya, ia tak dapat diketahui sebab jika kiranya ada pengatahuan tentang yang ada itu, adalah ia buah pikiran, dan yang tidak ada sekali-kali tidak dapat masuk dalam pikiran. Ketiga, jika kiranya kita mengetahui sesuatunya, pengetahuan itu tidak dapat kita kabarkan kepada orang lain. Tiap-tiap gambaran berlainan daripada barang yang digambar.[80]

C.     Menurut dia tak terdapat sesuatu yang ada, jika sekiranya terdapat yang ada itu, kita toh tak tak dapat tahu akan ada itu jika sekiranya tahu juga, kita tak mungkin memberitahukan.[81]

D.     Georgias menulis suatu buku yang berjudul tentang yang tidak ada atau tentang alam. Dalam buku ini ia mempertahankan tiga pendirian, [1] tidak ada sesuatupun; [2] seandainya sesuatu ada, maka itu tidak dapat dikenal; [3] seandainya sesuatu dapat dikenal, maka pengetahuan itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain. Ketiga pendirian ini banyak didukung argumen.[82]

E.      Karyanya yang terkenal ialah ” tentang alam atau tentang yang tidak ada”. Dari bukunya itu tampaklah bahwa ia adalah seorang nihilis. Baginya tidak sesuatupun yang ada. Seandainya ada sesuatu, sesuatu itu tidakdapat dikenal. Seandainya sesuatu itu dapat dikenal, pengetahuan itu tidak dapat disampaikan kepada orang lain. Selanjutnya sofisme berkembang ke jurusan yang ditentukan oleh Gorgias, yitu cenderung kepada nihilisme, penilaian orang terhadap sofisme berbeda-beda. Ada orang yang hanya menilainya sebagai aliran yang merusak saja, ada juga orang yang dapat melihat segi-seginya yang menguntungkan.[83]
9. Parmenides (540-475 SM)

A.     Arti besar Parmenides ialah, bahwa ia menemukan secara mendalam idea atau gagasan tentang ”ada”. Selanjutnya dikatakan, bahwa ada dua jalan guna mendapatkan pengetahuan, yaitu: jalan yang benar dan jalan yang sesat. Jalan yang sesat, yang menipu, memberi pengetahuan yang semu. Adapun pengetahaun yang semu adalah segala pengetahuan yang telah dimiliki orang hingga saat ini, yaitu pengetahuan yang gagasan dasarnya adalah kejamakan dan perubahan. Pengatahuan ini dikarenakan oleh penipuan indera manusia. Menurut Parmenides ” yang ada itu ada”. Inilah yang disebut kebenaran yang tidak mungkin diungkiri. Mengenai ”yang ada” orang dapat mengemukakan dua pengandaian. Orang dapat mengemukakan, bahwa ”yang ada” itu tidak ada, atau bahwa ”yang ada” itu sekaligus ada dan tidak ada.[84]

B.     Pokok-pokok filsafat Parmenides adalah sebagai berikut: 1. kebenaran itu ada, yaitu kebenaran yang bulat dan penuh. 2. yang ada itu satu, dan tetap (tiada berobah). Yang banyak tidak ada. Parmenides menyimpulkan pendapatnya dalam sebuah semboyan yaitu: ”hanya yang ada itu ada, yang tidak ada itu tidak”. Maka karena menurut pendapat parmenides bahwa: yang ada itu satu dan tetap, terpaksalah ia meniadakan adanya alam yang banyak dan bermacam-macam itu karena hanya yang ada itu ada, yang tidak ada itu tidak.[85]

C.     Menurut dia bahwa ”yang ada” itu ada. Itulah satu-satunya kebenaran. ”yang tidak ada” tidak mungkin merupakan objek bagi pemikiran kita dan kita tidak bisa berbicara tentangnya. Kebenaran yang diuraikan tadi mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang tidak kecil. Pertama-tama, ”yang ada” adalah satu dan tak terbagi: pluralitas (kejamakan) tidak mungkin. Tentu saja, karena tidak ada sesuatupun yang dapat memisahkan ”yang ada”, berikutnya yang ada bersifat kekal dan tidak akan dimusnahkan; dengan kata lain, yang ada bersifat kekal dan tak terubahkan. Lantas harus dikatakan bahwa ”yang ada” itu sempurna .[86]

D.     Menurutnya yang satu itu tidak dipandangnya sebagai persatuan tuhan dan alam, melainkan sebagai adanya yang sepenuh-penuhnya. Yang lahir itu ada! Dalam persatuan tuhan dan alam tidak ada yang banyak sebagai jumlah satu-satunya. Sebagai pokok pendiriannya disebutnya, bahwa ada kebenaran kebenaran yang bulat, kebenaran yang sepenuhnya.[87]
E.      Yang satu menurut parmenides tidak dipandang sebagai persatuan yang utuh-seutuhnya. Yang lahir itu ada dalam persatuan tuhan dan alam tidak ada yang banyak sebagai jumlah satu-satunya, ajarannya tentang yang ada. Parmenides mengakui adanya pengetahuan yang bersifat tidak tetap dan berubah-ubah, serta pengetahuan mengenai yang tetap.[88]
10. Plato (427-347 SM)

A.     Didasarkan atas patokan lahiriah, dalam 5 kelompok, yaitu: karyanya ketika ia masih muda, karyanya pada tahap peralihan, karyanya yang mengenai ide-ide, karyanya pada tahap kritis dan karya-karyanya pada masa tuanya. Di antar buku-buku yang ditulisnya ialah: Apologi, Politeia, Sophistes, Timaios, dll. Pemecahan plato terletak disini, bahwa yang serba berubah itu dikenal oleh pengamatan, akan tetapi yang tidak berubah dikenal oleh akal. Umpamanya: di dalam pengamatan kita mengenal segitiga yang bermacam-macam, ada yang sama sisi, ada yang siku-siku, ada yang besar, ada yang kecil dan lain-lainnya. Segala macam segi tiga dikenal dengan melalui pengamatan. Akan tetapi dengan akal kita sampai kepada segi tiga seperti keadaannya yang sebenarnya, yang tetap, yang tidak berubah, yang kekal, yang tidak tergantung kepada segi tiga yang kita amati. Demikian juga halnya dengan ”yang baik”, ”yang benar” dan ”yang indah”. Dengan melalui akal kita, kita mengenal yang baik (kebaikan), yang benar (kebenaran) dan yang indah (keindahan). Yang tetap, yang tidak berubah, yang kekal itu oleh Plato disebut ”idea”. Bagi Plato idea bukanlah gagasan yang hanya terdapat di dalam pikiran saja, yang bersifat subyektip. Idea ini bukan gagasan yang dibuat manusia, yang ditemukan manusia, sebab idea ini bersifat obyektip, artinya: berdiri sendiri, lepas daripada subyek yang berpikir, tidak tergantung kepada pemikiran manusia, akan tetapi justru sebaliknya, idealah yang memimpin pikiran manusia.  Telah disinggung, bahwa di dalam dunia idea tiada kejamakan, dalam arti ini, bahwa ”yang baik” hanya satu saja, dan seterusnya, sehingga tiada bermacam-macam ”yang baik”. Akan tetapi ini tidak  berarti bahwa dunia idea itu hanya terdiri dari satu idea saja. Oleh karena itu dilihat dari segi lain harus juga dikatakan bahwa ada kejamakan, ada bermacam-macam idea, idea manusia, binatang, dan lain-lainnya. Oleh plato jiwa dan tubuh dipandang sebagai dua kenyataan yang harus dibeda-bedakan dan dipisahkan. Seperti halnya dengan Socrates, tujuan hidup manusia ialah eudaimonia atau hidup yang baik, telah disebutkan, bahwa  jiwa manusia terdiri dari 3 bagian, yaitu: bagian yang rasional, ialah bagian tertinggi, yang diarahkan kepada melihat ide-idea; bagian tengah, bagian kehendak, yang menjadi alat akal (rasio); bagian yang terendah, tempat nafsu-nafsu.[89]
B.     Bagi Plato idea merupakan sesuatu yang objektif. Ada idea-idea, terlepas dari subjek yang berpikir. Idea tidak diciptakan oleh pemikiran kita. Idea-idea tidak tergantung pada pemikiran; sebaliknya, pemikiran tergantung pada idea-idea. Justru karena adanya idea-idea yang berdiri sendiri, pemikiran kita dimungkinkan. Pemikiran itu tidak lain daripada menaruh perhatian kepada idea-idea itu. Bahwa menurutr Plato realitas seluruhnya seakan-akan terdiri dari dua “dunia”. Satu “dunia” mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indra. Di samping ”dunia” indrawi itu terdapat satu ”dunia” lain, suatu dunia ideal atau dunia yang terdiri atas idea-idea, dalam dunia ini sama sekali tidak ada perubahan. Menurut Plato ada dua pengenalan, yaitu pengenalan idea-idea, dan pengenalan tentang benda-benda jasmani.[90]
C.     Plato berpendapat bahwa sesuatu masyarakat harus dibangun atas tiga lapisan, sesuai dengan tiga daya utama yang menjadi sumber perilaku manusia. Plato berpendapat bahwa perilaku manusia bersumber pada tiga daya utama, yaitu gairah, perasaan, dan kecerdasan, masing-masing dengan pusatnya di perut, di dada, dan di kepala. Demikianlah maka masayarakat pun terdiri atas tiga lapisan. Lapisan pertama (di bawah) yang tersebar jumlahnya terdiri atas mereka yang terutama bertugas  menghasilkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kehidupan keseluruhan masyarakat (para petani, peternak, pengrajin, pedagang, nelayan, dan sebagainya); lapisan kedua (di tengah) terdiri atas para pembela negara (para hulubalang dan perajurit) yang berkewajiban menjamin keselamatan negara dalam menghadapi berbagai ancaman, khususnya ancaman perang. Lapisan ketiga (di atas) terdiri dari para cendikiawan dan filsuf yang berkewajiban memerintah secara arif-bijaksanan.[91]
D.     Yang berubah itu  dikenal dengan pengalaman, adapun yang tetap, kita kenal, dengan budi kita. Yang berubah itu realitas dunia pengalaman ini. Dalam pengalaman kita, kita tahu misalnya akan segi-segi bermacam-macam, dalam budi kita kenal segitiga yang satu, yang tetap, bahkan mungkin mutlak. Begitu pula kita kenal barang-barang yang indah dan tingkah laku yang baik. Tetapi pengertian ”keindahan” itu tidak kita alami, melainkan merupakan pengetahuan budi. Begitu pula harus dikatakan tentang pengertian ”kebaikan”. Pengertian yang tetap, ada diterima dengan memajukan dunia idea, yang tetap dan di situ idea-idea itu sungguh-sungguh dan merupakan realitas. [92]

E.      Filsafat plato dapat dibaca dalam buku yang dikarang oleh filosofi ini sendiri. Buku-buku itu banyak, menurut Thyrasyyllus ada tiga puluh enam (36) buah buku. Bahwa menurut plato kentayaan-kenyataan itu tetap tiada berubah-ubah. Plato juga berpendapat bahwa diri manusia itu adalah himpunan dari kenyataan-kenyatan. Dan kenyataan-kenyataan itu menurut Plato telah ada pada diri manusia sejak dari asalnya. Lebih lanjut plato membagi ”yang ada” itu kepada tiga golongan yaitu: alam yang dirasa yaitu alam yang dapat ditangkap dengan panca indera. Alam yang dirasa ini sifatnya berubah-ubah, tiada tetap dan selalu dalam kejadian. Alam pengertian yaitu alam gambaran, dia hanya berada dalam pikiran. Dia menggambarkan jenis dari apa yang dirasa, dan apa yang dirasa itu adalah satuan dari pengertian jenis yang berada dalam pikiran itu. Adapun alam kenyataan, yaitu alam kebenaran umum yang dimungkiri kebenarannya oleh kaum sofis, tetapi socrates menetapkan adanya, dan begitu pula parmenindes sebelumnya. Dia adalah alam fikiran, sifatnya tetap tiada berubah-ubah. Umpamanya, keadilan, kemanusiaan, kebaikan, kesucian dan lain-lain. Menurut plato, Tuhan menciptakan alam yang dirasa, sebagai menciptakan ”manusia” dari kemanusiaan. Plato juga membagi pengetahuan manusia kepada tiga derajat, yaitu: pengetahuan tentang alam yang dirasa, pengetahuan tentang jenis, pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan.[93]
F.      Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea".  Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, ... bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung,  ... kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak. Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, -- konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya. Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuhItu persoalan  ada ("being") dan mengada (menjadi, "becoming").[94]


































FILSAFAT PADA ABAD PERTENGAHAN (SKOLASTIK)

1. Plotinos (203-269)

a.       Plotinos, lahir di Mesir tahun 204 demikian nama tokoh neoplatonisme, mendasarkan pendapatnya pada filsafat Plato terutama dalam ajarannya tentang idea tertinggi baik atau kebaikan. Itulah sebabnya maka filsafat Plotinos merupakan Platonisme. Plotinos menuju pengalaman batin dan persatuan dengan tuhan. Dunia ini bukanlah tujuan pikiran seperti yang dulu-dulu, merainkan hanya alat untuk mencapai persatuan tersabut, tapi sebaliknya juga merupakan bahaya. Tuhanlah yang menjadi pangkal dan isi pikitan Plotinos. Tuhan ialah yang baik, yang menjadi tujuan semua kehendak, yang esa yang diikuti segala sesuatunya dalam adanya. Ada segala sesuatu itu timbul dari ada Tuhan yang esa itu. Yang esa itu, demikian Platinos, keluar dari dirinya, tanpa gerak, tanpa mau dan tanpa kehendak ….. (merupakan) pancaran sinar yang tak bergerak, seperti sinar berkilau-kilau yang meliputi matahari selalu dipancarkan oleh matahari itu, sedangkan matahari itu selalu tetap sama. Demikianlah Platinos. Makhluk bukanlah ciptaan Tuhan, melainkan pencarannya. Tuhan berkembang-kembang dan timbullah beberapa hal. Yang pertama timbal dari yang esa itu disebutnya jira, yaitu yang menjiwai alam semesta, yang timbul dari jira ahíla roh dan roh ini menimbulkan materi, oleh karena  segala sesuatunya timbal, tidak diciptakan oleh tuhan, maka tugas manusia ialah kembali lepada tuhan. Dalam pada itu manusia tertarik oleh dunia dan ia mungkin Amat mencurahkan pikir tenaganya lepada dunia, manusia harus berpaling dari keduniawian untuk mencapai keindahan di dunia ini. Dengan Demikian menurut Platinos dalam intinya dan dalam hakekatnya ada itu sungguh-sungguh hanya satu belaka. Tuhan dan semua (lainnya) berhakekat sama: ajaran yang menyatakan semuanya itu berhakekat Tuhan disebut panteisme (serbatuhan) meninggal di Roma tahun 270.[95]
b.      Puncak terakhir ajaran filsafat Yunani hádala ajaran yang disebut “neoplatonismo” filsuf yang menciptakan sintesa itu bernama Platinos(203-269). Ia lahir di mesir dan pada umur 40 tahun i atiba di Roma mendirikan statu sekolah filsafat . sesudah meninggalnya tahun 270 M, karangannya dikumpulkan dan diterbitkan oleh muridnya Porphyrios, dengan judul Enneadeis, seluruh filsafatnya berkisar tentang konsep ketuhanan atau dapat dikatakan konsep filsafatnya berkisar tentang Allah, sebab Allah disebutnya dengan nama “yang satu”. Semuanya yang ada berasal dari “yang satu”. Dan semuanya yang ada berhasrat pula untuk kembali kepada “yang satu”. Oleh karenanya dalam realitas seluruhnya terdapat gerakan dua arah: dari atas ke bawah dan dari bawah keatas. Marilah kita membeberkan lebih lanjut kedua arah ini:
1)      Dari atas ke bawah, pada puncak hirarki terdapat “yang satu” (to Hen), yaitu Allah. Setiap taraf dalam hirarki berasal dari taraf lebih tinggi yang paling berdekatan dengannya. Taraf satu berasal dari taraf lain melalui jalan pengeluaran atau “emanasi” (bahasa inggris: emanation). Dengan istilah “emanasi” mau ditujukan bahwa pengeluaran itu berlangsung secara mutlak perlu, seperti air sungai mutlak perlu memancar dari sumbernya. Taraf lebih tinggi tidak bebas dalam mengeluarkan taraf berikutnya. Tetapi dalam  peroses pengeluaran ini taraf lebih tinggi tidak berubah dan kesempurnaanya tidak hilang sedikit pun. Proses pengeluaran dilukiskan Platinos sebagai berikut. Dari “yang stu” dikeluarkan akal budi (nus). Dari akal budi itu berasallah jira dunia (psykhe’). Akhirnya, dari jira dunia dikeluarkan materi (hyle’),yang bersamaan dengan jira dunia merupakan jagat raya.
2)      Dari bawah ke atas, setiap hirarki mempunyai tujtuan kembali lepada taraf lebih tinggi yang paling dekat dan karena itu secara tak langsung menuju ke Allah. Karena hanya manusia mempunyai hubungan dengan semua taraf hirarki, dialah yang dapat melaksanakan pengembalian lepada Allah. Hal itu dapat dicapai melalui tiga langkah. Langkah pertama hádala penyucian, dimana manusia melepaskan diri dari materi dengan laku tapa. Langkah kedua hádala penerangan, di mana ia diterangi dengan pengetahuan tentang idea-idea akal budi. Akhirnya, langkah ketiga hádala penyatuan dengan tuhan yang melebihi segala pengetahuan.[96]  

c.       Platinos (284-269), dilahirkan di Lykopolis (Mesir). Pada umur 28 tahun tertariklah ia pada filsafat. Selama 11 tahun ia relajar pada Ammonius Sacas. Pada tahun 244 ia  berdiam di Roma. Hasil karyanya kemudian diterbitkan oleh muridnya, Porphyrios (304) dalam 6 Enneade, 6 bagian yang masing-masing terdiri dari 9 buku. Dasar obyektip ajaran Platinos ahíla dualisme Plato yang mengajarkan, bahwa di camping dunia dapat diamati ini maíz ada dunia yang lain, yang tidak dapat diamati, yaitu dunia idea  dunia “ada” yang sejati, yang pada hakekatnya berbeda sekali dengan dunia gejala ini. Dualisme Plato ini oleh Platinos dinaikan tingkatanya, ditempatkan dala statu kesatuan yang lebih tinggi, di dalam kesatuan “arus hidup” yang mengalir dari “yang ilahi”. Dengan demikian filsafat plato yang antroposentris, yang berpusat lepada manusia itu, dijadikan filsafat yang teosentris, yang berpusat lepada “yang ilahi”. Ajarannya banyak persamaannya dengan ajaran agama keristen, tetapi tidak dapat dipastikan, apakah ia dipengaruhi oleh agama kristen, atau apakah ajarannya itu dimaksud untuk membendung arus perkembangan agama keristen. Menurut Plotinos, Allah tidak termasuk dunia ini, tetapi termasuk dinia yang diamati, yang mengatasi dunia ini. Ia hádala Esa, tanpapembanding, dalam arti bahwa ia tidak dapat dibandingkan dengan apa pun juga, karena tiada sesuatu di samping-Nya. Selanjutnya ia mengatasi segala hal yangb berlawanan, karena ia adalah esa secara sempurna. Akal manusia tidak dapat menembus sampai kepada-Nya, sebab di dalam pikiran manusia masih senantiasa ada subyek dan obyek, masih sensntiasa ada perbuatan memeikir dan pikiran. Segala sesuatu atau jagat raya dengan segala isinya mengalir keluar daripada “yang ilahi”itu, yang laksana sumber harus mengalirka segala sesuatu keluar. [97]
d.      Muncul juga aliran filsafat kuno yang terakhir, yaitu Neo-Platonisme dengan pendirinya Plotinos (205-270). Aliran ini berasal dari Mesir dengan dipengaruhi alam pikiran Timur (India) dan cepat berpengaruh di Roma. Plotinos ingin memperbarui filsafat Plato yang dianggapnya cocok bagi kebutuhan religius pada jamannya, sekaligus belajar dari aliran Stoa. Dibandingkan dengan filsafat Plato (dan Aristoteles), Neo-Platonisme lebih dinamis.
Secara singkat bisa dikatakan, aliran Neo-Platonisme berpandangan bahwa semua yang ada dan yang dapat disaksikan, termasuk manusia sendiri, berasal dari “Yang Esa”, dan terus menerus mengalir (”emanasi“) dari Yang Esa itu tanpa ada batas yang jelas antara keduanya (selain emanasi dipakai juga istilah “perilampsis“, “penyinaran”. Oleh karena itu selain lambang air dipakai juga lambang sinar cahaya dan terang). Apa saja yang berasal dari Yang Esa itu tidak bisa lain kecuali mau kembali kepada-Nya. Semuanya merupakan suatu lingkaran besar yang bersifat ilahi. Manusia tergoda untuk “berhenti” di tengah jalan, melekat pada materi (ingat “hyle“-nya Aristoteles) yang paling jauh dari Yang Esa, seakan-akan seperti “titik balik” dari gerak “keluar kembali”. Kemacetan itu bisa dihindari dengan askesis sehingga di tengah jalan manusia dapat memperoleh ekstasis berhadapan dengan Yang Esa yang mungkin hanya sekejap saja.[98]

e.       METODE INTUITIF-KONTEMPLATIF MISTIS
Metode ini berkembang dengan ide Plotinos dengan ajaran Neo-Platonisme. Filsafat Plotinos adalah kulminasi dan sintesa definitif aneka ragam filsafat Yunani. Filsafat Plotinos mengambil ide dasar pemikiran Plato. Pemikiran Plato mengenai ide kebaikan sebagai ide yang tertinggi dalam dunia ide. Tetapi, tidak berarti pemikiran Plotinos tidak murni.
Ide kebaikan dalam ajaran Plotinos disebut sebagai to hen (yang esa/the one). Yang Esa meruapakan yang awal atau yang pertama, yang paling baik, yang paling tinggi dan yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenali oleh manusia karena hal itu tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang Esa merupakan pusat daya dan pusat kekuatan. Seluruh realitas memancar keluar dari pusat itu. Proses pancaran dari To Hen disebut Emanasi. Meskipun melalui proses emanasi, eksistensi Yang Esa tidak berkurang atau berubah.
Pancaran pertama, menurut Plotinos, disebut nous. Nous disebut juga budi, roh, atau akal. Nous berada paling dekat dengan To Hen. Nous adalah gambaran atau bayangan To Hen. Setelah nous muncul apa yang disebut dengan psykhe atau jiwa. Psykhe terletak di perbatasan antara nous dan materi. Psykhe adalah penghubung antara roh dan materi. Jadi dapat dikatakan pula bahwa psykhe adalah penghubung dan penggabungan antara yang rohani dengan yang jasmani. Psykhe kemudian disusul oleh Me On atau materi/zat sebagai aliran lingkaran ketiga. Me On hanya merupakan potensi atau suatu kemungkinan bagi perwujudan suatu keberadaan dalam suatu bentuk. Psykhe bertemu dengan materi menghasilkan tubuh, yang pada hakikatnya berlawanan dengan nous dan To Hen.
Perlawanan dalam tubuh ini menghasilkan penyimpangan. Ini berarti penyimpangan terhadap kebenaran. Untuk kembali kepada kebenaran maka manusia harus kembali kepada To Hen dan menyatu dengannya. Inilah yang menjadi tujuan manusia. Jika dalam proses emanasi, manusia meninggalkan terang dan kebenaran mutlak masuk ke dalam kegelapan mutlak. Maka untuk mencapai kebenaran dan terang mutlak, manusia harus menempuh jalan kontemplasi. Kontemplasi merupakan jalan pembersihan untuk bersatu dengan kebenaran mutlak. Manusia harus berani berpikir sebaliknya, yaitu tidak memikirkan hal inderawi. Hal inderawi menjadi penghalang dalam proses pemersatuan manusia dengan To Hen. Kontemplasi adalah proses pembersihan jiwa manusia yang merupakan kondisi bagi kesatuan mistis dengan To Hen.
Filsafat Plotinos tidak berhenti pada ajaran. Tapi ajaran Plotinos mengarah pada suatu cara hidup. Ini berarti bahwa ajaran Plotinos tidak berhenti pada masalah benar tidaknya ajaran yang disampaikan tapi lebih dari itu, ajaran Plotinos harus mengarah pada suatu sikap hidup yang tidak terikat pada hal duniawi. Itulah sebabnya ajaran Plotinos sering disebut ajaran yang kontemplatif-mistis.[99]
2. Augustinus(352-430)

a.       Diantara bapa-bapa paling besar gereja barat adalah Agustinus (354-430). Dari sudut sejarah filsafat, dialah pemikir yang paling penting dari seluruh masa patristik. Sesudah menganut berbagai aliran filsafta, pada tahun 387 ia dibaptis oleh Ambrosius menjadi anggota Gereja Kristen. Pada tahun 396 ia dipilih sebagai uskup baru di kota Hippo (Afrika utara). Agustinus menulis banyak karangan. Yang termasyur ialah Confessiones (pengakuan-pengakuan), di mana ia mengisahkan riwayat hidupnya berdoa di hadapan tuhan. Dalam buku De Civitate Dei (perihal negara Allah) ia mengemukakan pendapatnya sebagai teolog dan filsuf kristen tentang perkembangan sejarah umat manusia. Ia tidak menerima suatu filsafat yang mempunyai otonomi terhadap iman kepercayaan kristiani. Filsafat hanya dapat diperaktekan, katanya, sebagai “filsafat kristiani” atau dengan suatu nama lain dikatakannya juga “kebijaksanaan kristiani”. Itu berarti bahwa bagi dia pemikiran teologi dsan pemikiran filosofi merupakan kesatauan yang sejati. Dalam bidang filsafat, Agustinus mencari inspirasinya terutama  dalam neoplatonisme atau lebih tepat lagi dapat dikatakan, dalam platonisme, sebab ia sendiri tidak memperbedakan neoplatonisme (ajaran platinos) dari platonisme (ajaran plato sendiri)tanpa ragu-ragu ia mengakui plato sebagai filsuf yang terbesar.
1)      Ajaran tentang iluminasi, pertama-tama dapat disebut pendapatnya tentang pengenalan. Dalam masa mudanya ia bergumul denga problem-problem yang menyangkut sekeptisisme. Tetapi akhirnya ia berkeyakinan bahwa sekeptisisme tidak tahan uji. Jiak saya menyangsikan segala sesuatu, tidak dapat disangsikan bahwa saya sangsikan,memang ada kebenara-kebenaran yang teguh. Rasio insani dapat mencapai kebenaran-kebenaran yang tak terubahkan. Menurut Augustinus, hal ini hanya mungkin karena kita mengambil dalam rasio ilahi. Dalam rasio ilahi terdapat: kebenaran-kebenaran abadi”: kenebaran-kebenaran yang mutlak dan tak terubahkan. Rasio ilahi itu menerangi rasio insani. Allah adalah guru batiniah yang bertempat tinggal dalam batin kita dan menerangai roh manusiawi dengan kebenaran-Nya. Itulah pendirian Augustinus yang biasanya disebut ajaran iluminasi atau penerangan.
2)      Dunia jasmani, dunia jasmani mengalami perkembangan terus-menerus, tetapi seluruh perkembangan itu tergantung pada Allah. Mual-mula Allah menciptakan suatu materi yang tidak memepunyai bentuk tertentu, tetapi di dalamnya terdapat “rationes seminales” (artinya: benih-benih). Maksudnya ialah perinsip-perinsip aktif darimana berkembang semua makhluk jasmani. Augustinus mengambil titik ajaran ini dari mazhab Stoa. Kalau ditanyakan apakah Augustinus di sisni menganut semacam teori evolusi, harus dijawab bahwa ia memang mengakui adanya perkembangan dalam dunia jasmani. Tetapi ia sekali-kali tidak memaksudkan suatu evolusi atau mutasi jenis-jenis. Sebaliknya, dalam benih-benih itu segala sesuatu sudah ada, seperti ayam sudah ada dalam telur. Dengan teori ini Augustinus berfikir dapat memecahkan beberapa kesulitan tentang penciptaan yang timbul jika membaca injil.
anusia, dalam pemikirannya manusia, Augustinus pasti dipengaruhi oleh platonisme. Ia tidak menerima dualisme ekstrem plato tentang manusia (jiwa terkutung dalam tubuh), tetapi tidak dapat disangka bahwa ia masih menganut semacam dualisme, misalnya bilaia melukiskan jiwa sebagai subtansi yang menggunakan tubuh. Tetapi tubuh (dan materi) tidak merupakan sumber kejahatan. Satu-satunya kejahatan adalah dosa yang berasal dari kehendak bebas, lagi hukhuman untuk dosa. Augustinus tidak pernah mengatasi keragaun-keraguan tentang masalah asal-usul jiwa manusia. Satuy kali berkecenderungan kepada pikiran bahwa jiwa langsung diciptakan oleh tuhan pada saat konsepsi. Lain kai ia mengatakan jiwa anak berasal dari jiwa orang tuanya.[100]
b.      Aurelius Augustinus (354-430) yang dilahirkan di Thagaste, di Numedia. Ayahnya bukan seorang keristen sedangkan ibunya seorang keristen. Augustinus menentang aliran skeptisisme. Menurut dia, sikap skeptis disebabkan karena adanya pertentangan batiniah. Orang dapat meragukan segala sesuatu, akan tetapi satu hal yang tidak dapat diragukan olehnya, yaitu bahwa ia ragu-ragu. Barang siapa ragu-ragu sebenarnya ia berfikir, dan barangsiapa berpikir, tidak boleh ia berada. Aku ragu-ragu, maka aku bepikir, dan aku berpikir, maka aku ada. Pikiran dapat menacapi kebenaran dan kepastian. Sekalipun berfikir pada dirinya ada batasnya, namun dengan berpikir orang dapat mencapai kebenaran yangb tiada batasnya, yang kekal abadi. jikalau ada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat abadi, yang tak terbatas, tidak berubah, tentu juga ada kenyataan yang kekal abadi, yang perlu mutlak, yang tidak berubah, yang mengatasi segala pikiran manusia. Selanjutnya mengenai hakekat Allah dikatakan, bahwa Allah begitu mengatasi segala gagasan dan pengertian, sehingga segala pengetahuan kita tentang Dia lebih menampakan hal ketidaktahuan, artinya: kita lebih dapat mengatakan “Allah itu bukan apa” daripada” Allah itu apa”. Akan tetapi ini bukan agnostisisme. Sebab maksud Augustinus hanya mengatakan, bahwa Allah tidak dapat dimasukkan kedalam ketegori-kategori yang dimiliki manusia. Allah adalah roh yang esa, yang tidak bertubuh, tidak berubah, akan tetapi yang berada di mana-mana serat meliputi segala sesuatu, sehingga tiada sesuatu pun yang di atasNya. Segala sesuatu diciptaka oleh Allah dari “yang tidak ada” menjadi “berada”. Penciptaan adalah suatu creatio ex nihilo, penciptaan keluar daripada “yang tidak ada” (nihil).[101]
c.       Ajaran Augustinus (354-430)  lebih memperhatiakan sistem yang merupakan keseluruhan. Dalam logikanya Augustinus memerangi skepsis. Sekepsis itu, menurut pendapatnya mengandung pertentangan, mengandung kemustahilan. Skepsis menganjurkan sreba keragu-raguan tentang segala-galanya. Tetapi barang siapa ragu-ragu, walaupun katanya tentang segala sesuatu tentulah ia tak ragu-ragu tentang keragu-raguannya. Lain dari pada itu barangsiapa ragu-ragu tentulah ia berpikir, dan barang siapa berpikir, tentulah ia ada. Jadi ada kepastian padanya (dalam skepsis itu sendiri). Yaitu kepastian tentang ragu-ragu dan tentang ada. Menurut Augustinus budi mencapai kebenaran dan kepastian. Kebenaran dan kepastian itu dipaparkan dengan putusan-putusan yang baka, niscaya dan tak berubah. Antropologi dan etika, apakah manusia itu? Pertanyaan ini dijawab oleh Augustinus demikian: menurut badannya manusia itu termasuk alam jasmani, tetapi karena jiwanya ia termasuk rohani. Oleh karena ia jasmani, terikatlah ia, harus mengalami perubahan, sengsara dan terlibat dalam waktu. Sebaliknya oleh karena ia termasuk alam rohani, maka dengan budinya ia mencari kebenaran yang baka, dan dengan kehendaknya mencari kebaikan yang sempurna. Kejahatan atau dosa itu terletak pada kehendak yang bebas itu. Jika kehendak itu memilih yang jasmani serta dngan demikian memustahilkan jalannya kepada Tuhan, maka berdosalah ia. Jadi dosa atau jahat itu berdasarkan atas ketiadaan yang baik. Demikianlah pendapat Augustinus. Pengetahuan manusia itu mulai dari pengalaman indra. Dalam pengalaman ini sebenarnya jiwalah yang mengalami. Budi membuat putusan terhadap pengalaman itu serta mengatur tingkah laku manusia. Manusia itu tidak hanya merupakan perseorangan, melainkan juga merupakan perkawanan. Perkawanan ini mengandung hubungan jasmani. Manusia yang terikat dalam perkawanan jasmani ini merupakan masyarakat. Ada tuhan itu terdapat pada ada segala sesuatunya, tetapi Tuhan lain benar daripada makhluk.[102]

d.      Markus Aurelius Augustinus (354-430) lahir dan hidup dalam kondisi jaman yang sudah berkembang, di wilayah sekitar Laut Tengah sampai sebelah timur Teluk Persia. Dalam masa tersebut ada tiga unsur pokok yang mewarnai dan menentukan, yaitu tersebarnya kebudayaan Helenisme, muncul dan meluasnya Kerajaan Roma, dan tampilnya Gereja Kristiani. Meski pengaruhnya positif luar biasa, gaya hidup, kebudayaan, pemikiran dan cara bernegara dari Helenisme mempunyai unsur negatif juga, yakni hilangnya kedaulatan sebagian besar “negara kota” (polis), dengan seluruh adat-istiadat, ketatanegaraan, undang-undang, logat bahasa, agama dengan dewa-dewanya.
Pada awalnya, Helenisme tidak langsung mengarah ke rasa keterlibatan untuk mempertahankan dan meneruskan kesatuan wilayah raksasa yang telah didirikan oleh Iskandar Agung. Kenyataan historis menunjukkan bahwa kesatuan dan keterlibatan itu tetap kondusif dan semakin kuat kalau diwujudkan atas dasar kesatuan kebudayaan, bukan kesatuan negara. Helenisme mengakibatkan lunturnya adat istiadat dan agama lokal yang sudah mapan. Dalam masa itu bermunculanlah aliran-aliran yang mengacu pada pandangan hidup, keagamaan, filsafat, “kebatinan” khususnya di kalangan para cendikiawan dan petugas tinggi pemerintahan dan tentara. Pada saat itu ada dua aliran yang berpengaruh luas dan lama yaitu Stoa dan Epikurisme. Para penganut aliran tersebut merasa telah mendapatkan dasar pandangan hidup untuk bisa bertahan dalam gejolak-gejolak politik yang baru. Dewa-dewi kuno diganti dengan keyakinan pada penyelenggaraan akal (”logos“) yang “ilahi”, di luar dan di atas semua peristiwa dan semua manusia. Penyelenggaraan itu malah sudah terpantul dan dapat ditemukan pada setiap manusia secara mikrokosmis. Untuk itu, manusia harus mencapai ketenangan batin dengan melaksanakan askesis. Dalam peringatan 1500 tahun wafatnya Augustinus, terjadi diskusi hebat mengenai ada tidaknya apa yang dinamakan “filsafat Kristiani”.
Dalam arus filsafat jamannya, Augustinus menawarkan pemikiran baru yang tidak ditemukan pada filsuf-filsuf sebelumnya. Ia melihat bahwa filsafat selama itu lebih menempatkan yang ilahi dalam tanda kurung sehingga menempatkan filsafat sebagai “profan”. Agustinus memang mengagumi pemikiran-pemikiran filsafat, tetapi seabagai orang Kristiani ia melihata ada sesuatu yang kurang, yaitu bahwa Kristus tidak ditemukan di sana.
Augustinus juga menyadari bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran sejati kalau tidak diterangi oleh yang ilahi. Meskipun demikian dalam diri manusia sudah ada benih kebenaran yang memungkinkannya untuk menguak kebenaran. Benih inilah yang ia sadari sebagai pantulan Allah sendiri, sehingga manusia merupakan citra Allah. Inilah yang menurutnya merupakan kedalaman yang paling dalam pada diri manusia.
Augustinus berasal dari wilayah yang sama dengan Tertulianus, propinsi Numidida di Afrika Utara dengan ibukota Kartago. Ia mendapat pendidikan Kristiani dari Monika, ibunya. Tetapi sejak usia muda, iman sudah tidak berarti baginya, terutama setelah ia belajar di Madaura. Kemudian ia ke Kartago untuk mempelajari tata bahasa, sastra, retorika. Tujuannya agar ia mampu berbicara di muka umum, menyatakan apa saja yang ingin didengar orang, karena ia memiliki keinginan yang besar untuk menjadi orang penting dan duduk di lapisan teratas masyarakat. Ia memang sangat berbakat.
Menurut pengakuannya sendiri, selama masa muda itu, ia hidup berfoya-foya. Ia mempunyai latar belakang pemikiran filsafat dari aliran Manikeisme yang mempunyai pandangan hidup dualistis. Filsafat ini memberikan toleransi besar terhadap segala kelemaham manusia dengan beranggapan bahwa kaum “jasmani” atau para “pendengar” tidak dapat lain daripada berharap bahwa pada penitisan kembali, mereka akan lahir sebagai yang “terpilih” dan mendapatkan keselamatan. Untuk sementara waktu dalam hidup “jasamani” ini mereka memberi toleransi kepada kejasmanian dan kelemahan mereka.
Beberapa waktu kemudian ketika sudah pindah ke Roma dan mengalami kegagalan dalam mencapai sukses yang diharapkan, ia pindah ke aliran skeptisisme yang menganggap dirinya sebagai ahli waris terakhir dari Akademia Plato. Aliran ini sedikit berbeda dengan Plato karena mempunyai anggapan bahwa tidak mungkin manusia mencapai kepastian atau suatu kebenaran yang tetap (mirip dengan para Guru Sofis pada masa Sokrates). Mereka menganut relativisme mutlak dalam bidang pengetahuan maupun penilaian norma-norma etika.
Usahanya mendirikan perguruan di Roma gagal. Bermodalkan pengalaman hidupnya sendiri dan berdasarkan skeptisisme para penganut Akademia, seakan-akan ia tak sanggup lagi mengejar kebenaran atau menyetujui adanya pedoman hidup yang baik. Akhirnya ia mendapat undangan untuk mengajar di Milano.
Di tengah kemerosotan yang telah dialaminya, keinginannya untuk mengetahui masih membara dalam hatinya. Dalam situasi seperti itu ia berkenalan dengan karya Plotinos yang digubah oleh Porfirius (233-304) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Marius Victorinus. Semula Augustinus merasa sangat terkesan karena ajaran Neo-Platonisme itu menjadi sistem filsafat pertama yang diperkenalkan kepadanya. Dalam ajaran tersebut terdapat pemikiran yang konsisten dan bukan dualistis. Misalnya, tidak ada suatu asas dari segala yang jahat di samping asas dari segala yang baik. Yang jahat itu ada karena kekurangan dari yang baik. Augustinus juga diperkenalkan dengan filsafat yang menguraikan secara meyakinkan adanya nilai-nilai rohani yang dapat ditemukan manusia di dalam hatinya sendiri. Meskipun mengesankan Augustinus, ajaran ini belum mempunyai dampak atau pengaruh lebih mendalam baginya. [103]
e.       Pemikiran filsafati para Bapa Gereja Katolik mengandung unsur neo-platonisme.  Para Bapa Gereja berusaha keras untuk menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut pengertian dan akalbudi, memberinya infrastruktur rasional, dan dengan cara itu membuat pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi pokok bahasan utama. Hakekat manusia Yesus Kristus dan manusia pada umumnya dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh Agustinus (354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang ("lumens") dari Allah.  Meskipun demikian dalam diri manusia sudah tertanam benih kebenaran (yang adalah pantulan Allah sendiri). Benih itu memungkinkannya menguak kebenaran. Sebagai  ciptaan, manusia merupakan jejak Allah yang istimewa = "imago Dei" (citra Allah), dalam arti itu manusia sungguh memantulkan siapa Allah itu dengan cara lebih jelas dari pada segala ciptaan lainnya.

"Tuhan, engkau lebih tinggi daripada yang paling tinggi dalam diriku, dan lebih dalam daripada yang paling dalam dalam batinku"  -- itu ungkapan Agustinus tentang pengalaman manusia mengenai transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumusan.  Dalam zaman ini pokok-pokok iman Kristiani dinyatakan dalam syahadat iman rasuli (teks "Aku Percaya" yang panjang). Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok iman, termasuk tentang trinitas -- tentu saja dalam katagori pemikiran filsafati pada waktu itu dan dengan bahan dari Alkitab.

Agustinus menerima penafsiran metaforis atau figuratif atas kitab Kejadian, yang menyatakan bahwa alam semesta dicipta creatio ex nihilo dalam 6 hari, dan pada hari ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu baik adanya. "Allah tidak ingin mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak relevan bagi keselamatan mereka".  Penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam waktu, namun waktu diciptakan bersama dengan dunia. Penciptaan adalah tindakan tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya waktu menjadi ada, dan tindakan kontinu yang melaluinya Allah memelihara dunia.  Istilah ex nihilo tidak berarti bahwa tiada itu merupakan semacam materi, seperti patung dibuat dari perunggu, namun hanya berarti "tidak terjadi dari sesuatu yang sudah ada".  Hakikat alam ciptaan ialah menerima seluruh Adanya dari yang lain, yaitu Sang Khalik. Alam ciptaan adalah ketergantungan dunia kepada Tuhan.

Disini tidak disinggung persoalan, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau terjadi pada suatu ketika atau sudah ada sejak zaman kelanggengan.  Para ahli filsafat pada umumnya sependapat bahwa a priori kita tidak dapat memastikan mana yang terjadi. -- Menciptakan, sebagai tindakan aktif, dipandang dari sudut Tuhan, merupakan cetusan kehendakNya yang bersifat langgeng, karena segala sesuatu dalam Tuhan adalah langgeng.  Tetapi dipandang dari sudut ciptaan, secara pasif, ketergantungan dari Tuhan, terciptanya itu dapat terjadi dalam arus waktu, atau di luarnya, sejak zaman kelanggengan.  Jadi kelirulah jika dibayangkan bahwa Tuhan suatu ketika menciptakan alam dunia lalu mengundurkan Diri.  Andaikata Tuhan seolah-olah beristirahat, maka buah ciptaan runtuh kembali ke nihilum, ke ketiadaan.  Dunia terus menerus tergantung pada Tuhan (creatio dan sekaligus conservatio).

Ketika ditanya mengenai apa yang dilakukan Allah sebelum menciptakan dunia, Agustinus menjawab tidak ada artinya bertanya mengenai itu, karena tidak ada waktu sebelum penciptaan tersebut.[104]

3. Thomas Aquinas (1225-1274)

a.       Ia dilahirkan di Rocca Sicca, dekat Napels, dari suatu keluarga bangsawan. Semula iabelajar di Napels, kemudian di Paris, menjadi murid Albertus Agung, lalu di Koln, dan kemudian di Paris lagi. Sejak tahun 1252 ia mengajar di Paris dan Italia. Filsafat Thomas dihubungkan erat sekali dengan teologi. Iamn adalah suatu cara tertentu guna mencapai pengetahuan, yaitu pengetahuan yang mengatasi akal, pengetahuan yang tidak dapat ditembus akal. Iman adalah suatu penerimaan atas dasar wibawa Allah. Sekalipun misteri mengatasi akal, namun tidak bertentangan dengan akal, tidak anti akal. Sekalipun akal tidak dapat menemukan misteri, akan tetapi akal dapat meratakan jalan yang menuju kepada misteri (prae ambula fidei). Denga demikian Thomas menyimpulkan adanya dua macam pengetahuan, yang tidak saling bertentangan, tetapi yang berdiri sendiri-sendiri secara berdampingan, yaitu: pengetahuan alamiah, yang berpangkal pada akal yang terang serta memiliki hal-hal yang bersifat insani umum sebagai sasarannya, dan pengetahuan iman, yang berpangkal dari wahyu dan memiliki kebenaran ilahi, yang ada di dalam kitab suci, sebagai sasarannya. Menurut Thomas Allah adalah aktus yang paling umu, actus purus (aktus murni), artinya Allah sempurna adanya, tiada perkembangan padaNya, karena padaNya tiada potensi. Di dalam Allah segala sesuatu telah sampai kepada perealisasinnya yang sempurna. Tiada sesuatu pun padaNya yang masih dapat berkembangan. padaNya tiada kemungkinan. Allah adalah aktualitas semata-mata. Oleh karena itu pada Allah hakekat (essentia) dan aksistensi (existentia) adalah identik, bertindih tepat. Tidaklah demikian keadaan para makhluk. Eksistensi atau keberadaan (essentia). Pada makhluk nisbah antara hakekat dan eksistensi seprti materi dan bentuk, atau seperti potensi dan aktus, atau seperti bakat dan perealisasiannya. Pada Allah tiada sesuatu pun yang berada sebagai potensi yang belum menjadi aktus. Thomas juga mengajrkan apa yang disebut theologia naturalis, yang mengajarkan, bahwa manusia dengan pertolongan akalnya dapat mengenal Allah, sekalipun pengetahuan tenyang Allah yang diperolehnya dengan akal itu tidak jelas dan tidak menyelamatkan. Dengan demikian Thomas berpendapat, bahwa pembuktian tenrang adanya Allah hanya dapat dilakukan secara a posteriori. Thomas sendiri memberikan 5 bukti: pertama adanya gerak di dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada penggerak pertama, yaitu Allah. Kedua di dalam dunia yang diamati ini terdapat suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau yang berdayaguna, oleh karena itu maka harus ada sebab berdayaguna yang pertama. Inilah Allah, yang ketiga di dalam alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin “ada” dan “tidak ada”. Oleh karena itu harus ada sesuatu yang perlu mutlak, yang tak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Inilah Allah, yang keempat di antara segala yang ada terdapat hal-hal yang lebih atau kurang baik, lebih atau kurang benar, dan lain sebagainya. Maka yang menyebabkan semuanya itu adalah Allah, yang kelima kita menyaksikan, bahwa segala yang tidak berakal, seperti umpamanya; tubuh alamiah, berbuat menuju kepada akhirnya. Maka apa yang tidak berakal tidak mungkin bergerak menuju akhirnya, jikalau tidak diarahkan oleh suatu tokoh yang berakal, berpengetahuan, inilah Allah.[105]

b.      Thomas Aquinas (1225-1274) dilahirkan di Italia dan pada usia 18 atau 19 tahun ia masuk Ordo Dominikan. Thomas menunggal dunia usia 49 tahun (tgl. 7 Maret 1274)filsafat tentang penciptaan. Pendiriannya ialah bahwa segala sesuatu yang diciptakan mengambil bagian dalam adanya Allah. Itu berarti bahwa segala sesuatu yang diciptakan menurut adanya terganrung pada Allah. Ia mempertahan kan pula bahwa Allah sama sekali bebas dalam menciptakan dunia. Dunia tidak mengalir dari Allah. Allah menjadikan ciptaan-ciptaan dari ketiadaan (ex nihilo). Dengan itu Thomas bermaksud menekankan dua hal: [1] dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar. Ciptaan-ciptaan menurut adanya tergantung pada Allah, bukan menurut salah satu aspek saja. [2] penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja. Tidak boleh dibayangkan bahwa dunia pada satu saat tertentu diciptakan tuhan dan kemudian sudah tidak lagi tergantung pada-Nya. Pengenalan mengenai Allah, Thomas mengakui kemampuan rasio insani untuk mengenal adanya Allah. Namun adanya Allah tidak dapat dikenal secara langsung, tetapi hanya melalui ciptaan-ciptaan. Oleh karena itu Thomas menolak bukti ontologis yang dahulu diusulakn oleh Anselmus. Hilemorfisme Thomas mengambil alih dan menyempurnakan ajaran Aristoteles mengenai materi dan bentuk, segala sesuatu yang bersifat jasmani terdiri dari materi bentuk pertama dan bentuk. Materi dan bentuk tidak merupakan dua ”benda”, melainkan dua perinsip metafisis yang sama sekali terarah yang satu kepada yang lain. Manusia, tentang manusia Thomas juga menyempurnakan ajaran Aristoteles, manusia adalah satu substansi saja. Oelh karena itu jiwa manusia tidak merupakan substansi lengkap, sebagaiman dipikirkan Plato. Jiwa adalah bentuk yang menjiwai materi, yitu badan. Tetapi jiwa tidak menjalankan aktifitas-aktifitas yang melebihi yang badan belaka, yaitu berfikir dan berkehendak,[106]
c.       Ontologi, semua yang dad di dunia ini merupakan partisipasi ada tuhan. Menurut Thomas tuhan menciptakan segala sesuatunya itu tanpa mempergunakan bahan. Oleh karena itu tuhan itu maha baik, kebaukan yang sempurna, maka segala sesuatunya yang ikut serta dengan dia itupun baik juga, karena mengikuti kebaikan tuhan. Sebab itu tak adalah dalam dunia ini unsur jahat dan baik. Anteropologia, manusiapun sebagai sesuatu yang adanya terbatas terdiri dari dua unsur juga, hule dan more. Tetapi manusia ini merupakan satu substansi, kedua unsur yang menjadi dasarnya atau sebabnya itu terbedakan, tetapi tidak terpisahkan. Maka dari itu jiwa manusia itu bukanlah substansi tersendiri seperti pendapat Plato, tetapi ia menjiwai badan dan merupakan kesatuan dengan badannya itu. Dualisme? Dalam sistem Thomas memang boleh dikatakan ada dualisme dala manusia, tetapi dua;isme ini merupakan kesatuan, bukanlah dualisme yang paralel. Jika kesatuan jiwa dan badan itu demikian eratnya, maka dengan sendirinya tak adalah suatu pengetahuan masuk kedalam akal, jika melalui badan (indra) lebih dulu. Pengetahuan tentang tuhan, dapatkah kiranya manusia di dunia ini dengan langsung mengenal tuhan, karena manusia (dengan budinya juga) merupakan partisipasi tuhan? Walaupun partisipasi ini sungguh-sungguh ada, demikian Thomas, manusia tidak dengan langsung disentuh dengan indera, padahal pengertian hanya tercapai manusia di duna ini dengan melalui indra lebih dahulu. Manusia hanya dapat mengenal tuhan setelah ia menjalankan pikirannya dengan mempergunakan indranya lebih dulu.[107]

Filsafat Skolastik menemukan puncak kejayaannya waktu Thomas Aquinas menjadi filsuf pokoknya. Filsafat skolastik dikembangkan dalam sekolah-sekolah biara dan keuskupan. Para filsuf skolastik tidak memisahkan filsafat dari teologi kristiani. Jadi dapat dikatakan bahwa filsafat integral dalam ajaran teologi.
Gaya filsafat abad pertengahan adalah sintesa ajaran filsafat sebelumnya. Sistem skolastik mengarah pada jalan tengah ekstrem-ekstrem ajaran filsafat waktu itu. Sintesa filsafat skolastik terdiri dari ajaran neoplatonis, ajaran Agustinus, Boetius, Ibn Sina, Ibn Rushd dan Maimonides. Selain ajaran-ajaran di atas, aliran filsafat pokok yang dianut oleh filsuf skolastik, terutama Thomas Aquinas adalah filsafat Aristotelian. Filsafat Aristoteles memberikan perspektif baru mengenai manusia dan kosmos. Thomas Aquinas mendasarkan filsafatnya pada filsafat Aristotelian terutama dalam ajaran potentia dan actus.
Prinsip metode skolastik adalah sintesis-deduktif. Prinsip ini menekankan segi yang sebenarnya terdapat pada semua filsafat dan ilmu. Prinsip deduktif adalah prinsip awal dari filsafat skolastik. Bertitik tolak dari prinsip sederhana yang sangat umum diturunkan hubungan-hubungan yang lebih kompleks dan khusus. Di dunia barat sudah lama dikenal prinsip logika Aristoteles. Prinsip logika ini diintegrasikan dengan prinsip ajaran neoplatonis dan agustinian. Prinsip aristotelian mengenai nova logica mendapatkan koreksi dan tambahan pada ajaran neoplatonis. Metode-metode itu diinterpretasikan dengan cara dan gaya lebih baru yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas. Thomas Aquinas pertama-tama mengolah filsafat Aristoteles. Thomas Aquinas mencoba mengkritisi ajaran aristotelian dengan prinsip ajaran tersebut. Thomas menambah problematika filsafat aristotelian. Demikian juga, Thomas memperlakukan filsafat Plato yang diwakili oleh pemikiran Agustinus Pemikiran Thomas Aquinas selalu mengarah bahwa pemikiran filosofis ditetapkan oleh evidensi. Inilah sebabnya pemikiran Thomas tidak selalu bersifat kompilatif dan eklektisisme tapi mengarah pada otonomi pemikiran. Thomas dalam epistemologinya menyebutkan bahwa semua pengertian manusia selalu melalui pencerapan. Ini berarti bahwa pada suatu saat pemikiran Thomas juga bersifat mengandalkan kenyataan inderawi. Landasan pemikiran Thomas selalu mengandaikan pengamatan inderawi yang bersifat pasti dan sederhana. Maka sering pula pemikiran Thomas bersifat reflektif-analitis. Pengamatan dan analisa fakta-fakta adalah dasar kuat bagi sintesa Thomas Aquinas. [108]
D. FILSAFAT PADA ABAD MODERN

1. RENAISSANCE

a.       Ini istilah bahasa perancis. Dalam  bahasa latin, re+nasci berarti lahir kembali (rebirth). Istilah ini biasanya digunakan oleh sejarawan untuk menunjuk berbagai priode kebangkitan intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa, dan lebih khusus lagi di Itali, sepanjang abad ke 15 dan ke-16. batas yang jelas mengenai kapan dimulainya penghabisan Abad pertengahan sulit ditentukan. Yang dapat ditentukan ialah bahwa abad pertengahan itu selesai tatkala datangnya Zaman Renaissance yang meliputi kurun waktu abad ke-15 dan ke-16 (bertens:44). Abad pertengahan adalah abad ketika alam pikiran dikungkung oleh gereja. Dalam keadaan seperti itu kebebasan pemikiran amat terbatas, perkembangan sains sulit terjadi, juga perkembangan filsafat, bahkan dikatakan manusia tidak mampu menemukan dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang mulai mencari alternative. Nah, di dalam perenungan mencari alternatif itu oarang teringat pada usatu zaman ketika peradaban begitu bebas, pemikiran tidak dikungkung, sains maju, yaitu zaman dan peradaban Yunani kuno. Usaha sebenarnya telah dimulai di dalam karya orang-orang Italia di dalam kesusastraan, misalnya pada Petrarca (1304-1374) dan Boccaccio (1313-1375). Selama abad ke-14 dan ke-15 di Italia muncul keinginan yang kuat akan penemuan-penemuan baru dalam dunia seni dan sastra. Mereka telahmelihat pada periode pertama bahwa kemajuan kemanusiaan telah terjadi. Ketika itu dunia barat telah bisa membagi tahapan sejarah pemikiran menjadi tiga periode, yaitu ancient, medieval, dan modern. Pada zaman Ancient atau zaman kuno itu mereka melihat kemajuan kemanusiaan telah terjadi. Kondisi seperti itulah yang hendak dihidupkan. Zaman Renaissance rupanya dianggap juga sebagai suatu babak penting dalam sejarah peradaban Voltaire, orang yang membagi babak sejarah peradaban menjadi empat, menganggap Renaissance merupakan babak ketiga dari keempat babak itu. Pada abad ke-19, Renaissance terutama dipandang sebagai masa yang penting dalam seni dan sastra. Berkembangnya penelitina empiris merupakan salah satu ciri Renaissance. Oleh karena itu, ciri salanjutnya adalah munculnya sains, di dalam bidang filsafat, zaman Renaissance tidak menghasilkan karya penting bila dibandingkan dengan bidang seni dan sains. Perkembangan sains ini dipacu lebih cepat setelah Descartes berhasil mengumumkan rasionalismenya. Sejak itu, dan juga telah dimulai sebelumnya, yaitu sejak permulaan Renaissance. Sebenarnya individualisme dan Humanisme telah dicanangkan Descartes memperkuat idea-idea ini. Humanisme dan individualisme merupakan  cir dari Renaissance yang penting. Humanisme ialah pandangan bahwa manusia mampu mengatur dunia dan dirinya, tokoh-tokoh penemu bidang sains pada masa ini ialah Nicolas Copernicus (1473-1543), Johanes Kepler (1571-1630), dari Galileo Galilei (1564-1643). Semuanya hidup pada zaman Renaissance, baik bagian tengah maupun bagian akhirnya. Zaman ini sring juga disebut sebagai zaman Humanisme. Maksud ungkapan ini ialah manusia diangkat dati Abad pertengahan. Pada abad pertengahan itu manusia dianggap kurang dihargai sebgai manusia kebenaran diukur berdasarkan ukuran gereja (kristen), bukan menurut ukutan yang dibuat oleh manusia, jadi ciri utaman Renaissanse ialh Humanisme, Individualisme,lepas dari agama (tidak diatur oleh agama), empirisme, dan rasionalisme .[109]
b.      Jembatan abad pertengahan dan jaman Moderen, periode antara sekitar 1400 dan 1600, disebut ”Renaissance” (jaman kelahiran kembali/dlam jaman renaissance kebudayaan klasik dihidupkan kembali). Kesusastraan, seni dan filsafat mencari inspirasi mereka dalam warisan Yunani-Romawi. Filsuf-filsuf terpenting dari renaissance itu N. Macchiavelli (1469-1527), Th. Hobbes (1588-1679), Th/More (1478-1535) dan Fr. Bacon (1561-1626). Pembaharuan terpenting yang kelihatan dalam filsafat renaissance itu “antroposentrisme”nya. Pusat perhatian pemikiran itu tidak lagi kosmos, seperti dalam jaman kuno, atau tuhan, seperti dalam Abad pertengahan, melainkan manusia. Mulai sekarang manusialah yang dianggap sebagai titik focus dari kenyataan.[110]
c.       Abad  pertengahan yang juga terkenal dengan sebutan abad kegelapan (the dark ages) merupakan pengantar bagi tibanya suatu zaman baru yang amat besar dampaknya terhadap perkembangan alam pikiran di Eropa Barat, bahkan terhadap perkembangan peradaban manusia umumnya. Zaman itu disebut Renaissance; suatu kebangkitan baru yang ditandai oleh kian leluasanya pengungkapan daya manusia secara menyelurh, tanpa terlalu menghiraukan berbagai tabu yang tadinya secara a priori menjadi umumnya dan filsafat khususnya. Renaissance tampil sebagai zaman yang ditandai oleh tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kehidupan manusia, sebagai individu maupun secara kolektif. Renaissance juga merupakan babak baru dalam arti diujinya berbagai tatanilai yang sebelumnya tidak tergiyahkan, yaitu tata-nilai yang bersangkutan dengan pusat-pusat kekuasaan, seperti yang berkaitan dengan keagamaan maupun politik dan kenegaraan. Memasuki era renaissance itu Eropa Barat berada di depan ambang tumbuhnya suatu ethos baru. Di samping telah terciptanya teleskop dan mikroskop serta berkembangnya ilmu mengenai gas, daya listrik dan magnet, penyebaran gagasan-gagasan semasa renaissance itu didukung oleh telah ditemukannya teknik cetak, sehingga berbagai tulisan para filsuf dan ilmuwan pada masa itu dengan mudah dapat diperbanyak dan disebarluaskan. Disamping teknik cetak, penemuan kompas telah memungkinkan pula dilakukannya penjelajahan ke wilayah-wilayah yang semakin luas, termasuk penjelajahan di lautan bebas yang menghasilkan penemuan benua dan wilayah baru (sepaerti antara lain perjalanan Colombus, Magelhaens). Penemuan mesia juga nyata pengaruhnya terhadap zaman ini. Ditemukannya cara membuat mesiu itu merupakan ancaman terhadap benteng-benteng feodalisme yang kokoh bertahan selama berabad-abad, masing-masing sebagai pusat kekuasaan dalam suatu wilayah dengan aturan dan ketentuannya yang disesuaikan denganselera sang raja. Dalam zaman renaissance juga terjadi pergerakan nasionalisme menentang feodalisme, dan muncul pula gerakan reformasi terhadap gereja (sebagaimana dipelopori oleh Luther dan Calvin). Dalam masa renaissance dicanangkan Huamnisme sebagai nilai yang diunggulkan dalam usaha memahami permasalahan manusia dan kemanusiaan. Adapun tokoh-tokohnya adalah Thomas Hobbes (1588-1679), Jhone locke, Voltaire, J-P Rousseau dan Immanuel Kant.[111] 
d.      Sementara itu karena datangnnya sarjana-sarjana Yunani di Eropa, timbullah di Eropa minat orang terhadap kebudayaan Yunani  pada khususnya dan kebudayaan kuno pada umumnya. Orang mau mengembalikan kebudayaan kuno itu di dunia, itulah yang dianggapnya kebudayaan sempurna. Masa ini terkenal dalam sejarah sebagai lahirnya kembali zaman kuno atau renaissance. Dalam pada itu filsafatpun tidak ketinggalan. oarang tidak lagi memusatkan pikirannyakepada Tuhan dan surga, melainkan kepada dunia saja dan dalam dunia itu yang merupakan pusat utama ialah manusia. Manusia didewa-dewakan, manusia tidak hanya merupakan pusat pendangan, di sana-sini manusia merupakan tujuan adanya. Aliran yang memusatkan pandangan kepada manusia itu disebut Humanisme. Mungkin terjadi dalam aliran ini bahwa manusia lalu menjadi hal yang tertinggi, lain hal tak ada: maka humanisme ini menjadi humanisme nirtuhan (ateistis). Tetapi tidak tiap-tiap humanisme merupakan humanisme nirtuhan. Adapun ,manusia, pusat pandangan dan pengatahuan ini, bukanlah manusia pada umumnya, seperti zaman yang mendahuluinya, malinkan sesuaidengan sifat modern ini, manusia perseorangan yang merupakan individu dan konkrit itu. Dari systempun ketika itu yang diutamakan manusia yang merupakan individu dengan segala kekuatannya, terutama budinya.[112]  
  • Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik.
  • Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.
  1. Adanya suatu teori bahwa alam semesta beserta isinya adalah suatu penjelmaan pikiran.
  2. Untuk menyatakan eksistensi realitas, tergantung pada suatu pikiran dan aktivitas-aktivitas pikiran.
  3. Realitas dijelaskan berkenaan dengan gejala-gejala psikis seperti pikiran-pikiran, diri, roh, ide-ide, pikiran mutlak, dan lain sebagainya dan bukan berkenaan dengan materi.
  4. Seluruh realitas sangat bersifat mental (spiritual, psikis). Materi dalam bentuk fisik tidak ada.
  5. Hanya ada aktivitas berjenis pikiran dan isi pikiran yang ada. dunia eksternal tidak bersifat fisik.
Pandangan beberapa filsuf mengenai Idealisme.
11. Idealisme Jerman, pemicunya adalah Immanuel Kant dan dikembangkan oleh penerus-penerusnya. Idealisme merupakan pembaharuan dari Platonis, karena para pemikir melakukan terobosan-terobosan filosofis yang sangat penting dalam sejarah manusia, hanya dalam tempo yang sangat singkat, yaitu 40 tahun (1790- 1830) dan gerakan intelektual ini mempunyai kedalaman dan kekayaan berpikir yang tiada bandingnya.[113]
a.       Ajaran Idealisme ini dibangun oleh murid-murid Immanuel Kant yang tidak puas dengan pernyataan tentang “akal yang terbatas.” Murid-murid Kant ini mencari dasar baru bagi pemikiran filsafatnya. Akhirnya mereka memutuskan “aku” sebagai subjeknya. Tokoh pembangun aliran ini adalah Johan Gottlieg Fichte (1762-1814). (Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, 2005, h.56). Fichte pada dasarnya setuju dengan Kant soal pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Namun pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman sebagai presentasi. Tetapi sesuatu yang harus dipahami, Kant bagi para filsuf idealisme tetap menjadi rujukan utama dalam karya-karyanya. Bahkan ada anggapan bahwa tiddah sah berfilsafat tanpa memahami Kant. GWF Hegel sendiri berkata “bahwa untuk menjadi filsuf, kita mula-mula harus menjadi pengikut Kant”. Hal yang bernada sama juga dikatakan  Arthur Schopenhauer, setiap orang akan tetap kanak-kanak sampai ia dapat memahami filsafat Kant. (Stephen Palmquist, Filsafat Mawas; Kuliah Filsafat Umum untuk Pemula. Judul asli, The Tree of Philosophy: A course of introductory lectures for beginning students of philosophy, Penerjemah: Muhammad Shodiq, 2001)Bentuk lain dari diaspora pemikiran Kant adalah filsafat Identitas sebagai pengembangan filsafat “aku” yang didukung oleh Friederich Wilhelm Joseph Schelling (1775-1854). Bagi Schelling, identitas tidak mengenal prioritas roh dan alam. Jika sesuatu itu absolute dalam tataran ideal, maka absolute juga dalam tataran real. Roh identik dengan alam. (F. Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzche, 2004, 157-1666) Selanjutnya, sebagai tokoh besar aliran ini yang tidak mungkin dilupakan adalah Georg Wilhem Hegel (1770-1831) yang terkenal dengan filsafat dialektikanya (tesis→ antitesis→sintesis→tesis baru→dst..) yang akan dibahas dalam tulisan ini.G.W.F. Hegel (1770-1831) adalah filsuf Jerman terbesar pada masanya. Kebesarannya tidak hanya berhenti sampai di situ, pemikiran filsafatnya telah berdiaspora dan mengilhami beberapa unit kajian sejarah, sosial dan filsafat itu sendiri. Jadi, sulit menghilangkan Hegel dari kepala filsuf saat ini, apalagi bila menyangkut topik-topik yang dibahas oleh Hegel sebelumnya, yaitu filsafat tentang ide.Pascakegemilangan filsafat Perancis abad ke-18 telah muncul filsafat Jerman baru, yang mencapai puncaknya di tangan Hegel. Jasanya yang terbesar ialah diangkatnya kembali dialektika sebagai bentuk tertinggi dari pemikiran. “Ahli-ahli filsafat Yunani kuno semuanya dasarnya adalah dialektikus-dialektikus alamiah, dan Aristotel, orang intelek yang paling ensiklopedis di antara mereka, sudah menganalisa bentuk-bentuk yang paling esensiil dari pikiran dialektik. Di pihak lain, filsafat yang lebih baru, meskipun di dalamnya dialektika juga mempunyai eksponen-eksponen (wakil-wakil) yang brilian (misalnya, Descartes dan Spinoza), telah terutama lewat pengaruh Inggris, menjadi semakin tegang-kaku dalam apa yang dinamakan metode berpikir yang metafisik, yang hampir sama sekali menguasai juga orang-orang Perancis abad ke-18, setidak-tidaknya dalam karya khusus filsafat mereka. Di luar filsafat dalam arti yang terbatas, orang-orang Perancis meskipun demikian menghasilkan karya-karya agung tentang dialektika. Kita hanya perlu mengingatkan “Le Neveu de Rameau” (Kemenakan Rameau) dari Diderot dan karya Rousseau “Discours sur l'origine et les fondements de l'inégalité parmi les homes” (Uraian tentang Asal-usul dan Dasar dari Ketidaksamaan di kalangan Manusia). Di sini secara singkat kita tunjukkan watak yang esensiil dari dua cara berpikir ini” (Friderich Engels: Perkembangan Sosialisme dari Utopia Menjadi Ilmu: 1880)Era kecemerlangan Filsafat Jerman ini juga disebut zaman Romantik. Selain G.W.F. Hegel (1770-1831) filsuf-filsuf besar dari Romantik kebanyakan berasal dari Jerman, yaitu J. Fichte (1762-1814), dan F. Schelling (1775-1854). Aliran yang diwakili oleh ketiga filsuf ini disebut "idealisme". Dengan idealisme di sini dimaksudkan bahwa mereka memprioritaskan ide-ide, berlawanan dengan "materialisme" yang memprioritaskan dunia material. Yang terpenting dari para idealis kedua puluh harus dianggap sebagai lanjutan dari filsafat Hegel, atau justru sebagai reaksi terhadap filsafat Hegel. Agaknya dengan alasan inilah Hegel dapat diletakkan di tempat teratas dalam mazhab idealisme.[114]

4. EMPIRISME

a.       Sementara itu ilmu terus maju, hasil penyelidikan dapat menolong umat manusia, kemajuan dianggap oarang tak berhingga. Anggapan orang terhadap filsafat amat berkurang, sebab dianggap sesuatu yang tak berguna untuk hidup. Ternyata dalam ilmu, pengetahuan berguna, pasti dan benar itu di peroleh orang melalui inderanya. Empirilah yang memegang peranan amat penting bagi pengetahuan. Francis Bacon, dari mudanya Bacon (1210-1292) sudah mempunyai minat terhadap filsafat. Akan tetapi waktu dewasa ia menjabat pangkat-pangkat yang tinggi di kerajaan Inggris, sebagai seorang pejabat tinggi ia tidak terlalu mengutamakan kebenaran, yang paling penting baginya ialah gunanya. Apakah guna pengetahuan, jika tak bermanfaat? Bukanlah renungan yang luhur-luhur yang bermanfaat dan bukan itu pulalah yang penting bagi hidup, melainkan fakta! Bukan yang abstrak-abstrak, hasil renungan yang ada, melainkan fakta di dunia ini. Dari itu pengetahuan yang sebenranya tentu saja pengetahuan yang di terima orang melalui persentuhan inderanya dengan dunia fakta, alam. Pengalamanlah sumber pengetahaun yang sejati. Thomas Hobbes (1588-1679) anak seorang pendeta, minatnya dari semula terarahkan kepada kesusasteraan dan filsafat. Terutama ia mengikuti nasionalisme. Bukanlah yang abstrak dan umu yang sungguh-sungguh ada. Pengertian umum itu hanya nama belaka yang sesungguhnya ada ialah hal sendiri. Adapun hal ini hanya tercapai pengenalanya dengan persentuhan indra, hanya kalau dapat disentuh dengan indra itulah suatu tanda kebenaran dan kesungguhannya. Pengetahuan kita tak mengatasi pengindraan; dengan kata lain, pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan indra saja, lain tidak. Jhon Locke (1632-1704). Anak seorang ahli hukum. Walaupun sebenarnya suka akan teologi dan filsafat, akan tetapi karena keadaan ketika itu menyulitkannya, ia belajar untuk dokter serta penyelidikan kimia. Locke hendak menyelidiki kemampuan pengethuan manusia, sampai kemanakah ia dapat mencapai kebenaran dan bagaimanakah mencapainya itu. Dalam pada itu ia menerima seperti Descartes dualisme: substansi yang berpikir dan yang berkeluasan: dunia jiwa dan dunia bahan. Ia mempergunakan istilah sensation dan reflection. Reflection itu pengenalan intuitif serta memberi pengetahuan kepada manusia lebih baik, lebih penuh dari pada sensation. Sensation merupakan suatu yang mempunyai hubungan dengan dunia luar, tetapi tak dapat  meraihnya dan tak dapat juga suatu pengetahuan. Tetapi tanpa sensation manusia tak dapat juga suatu pengethuan. Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerjasama antara sensation dan reflection. David Hume (1711-1776) menjadi terkenal oleh bukunya yang disebutnya An Enquiry Concerning Human Understanding. Dalam filsafatnya ia merupakan empiris yang konsekwen, ia menganalisa pengertian substansi. Seluruh pengetahuan itu tak lain dari jumlah penglaman kita. Dalam budi kita tak ada suatu idea yang tidak sesuai dengan impression yang disebsbkan ‘hal’ di luar kita. Apa saja yang merupakan pengetahuan itu hanya disebabkan oleh pengalaman. ‘hal’-nya sendiri tak dapat kita kenal, kita hanya mandapat impression itu. Adapun yang bersentuhan dengan indra kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal tersebut. Dengan amat tegas Hume hanya menerima persentuhan indra dengan hal luas, hanya itu saja, segala kesimpulan yang diadakan orang itu tak ada dasarnya sama sekali.[115]
b.      Kebimbangan orang kepada sains dan agama pada Zman Modern filsafat  sebagaimana telah disinggung beberapa kali sebelum ini, ditimbiulkan oleh berbagi hal, antara lain oleh ajran empirisme. Tokoh empirisme yang akan dibicarakan ialah Locke, Home, dan Spencer. Empirisme adalah suatu doktrin filsafat menekankan peran pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peran akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria yang berabti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme. Untuk memahami isi doktrin ini perlu dipahami lebih dahulu dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori tentang pengetahuan. Jhon Locke (1632-1704) adalah filosofi I    nggris ia lahir di Warington, Somersetshire, pada tahun 1632. tahun1647-1652 ia belajar di Westminster. Tahun 1652 ia memasuki Universitas Oxford, mempelajari agama keristen. Filsafta Locke dapat dikatakan antimetafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh Descrates, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descrates. Ia juga menolak metode deduktif Descrates dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman; jadi, induksi. Buku locke, Essay Cocerning Human Understending (1689), ditulis berdasarkan satu premis, yaitu semua pengetahuan datang dari penglaman (Solomon:108). Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan idea atau konsep tentang sesuatu yang berada di belakang pengalaman, tidak ada idea yang diturunkan seperti yang diajarkan oleh plato. Kesimpulan filsafatnya adalah: ide-ide tentang primary qualities objek ada pada objek itu, pola merakan ada pada objek itu sendiri, tetapi idea yang dihasilkan dalam jiwa kita oleh secondary tidak berada pada objek itu. Jadi, idea yang ada pada jiwa kita tidak sama dengan yang ada pada objek. Yang kita ambil dari objek itu adalah power nutuk menghasilkan sensasi itu dalam diri kita: apa yang kita pahami sebagai manis, biru, panas dalam idea kita tidak lain adalah besaran, bentuk, dan gerak pada bagian dari objek (part) yang tidak dapat kita indera; part itu ada di dalam objek itu. Pengetahuan kita itu kita peroleh lewat intuisi. Eksistensi Tuhan, akallah yang memberitahukannya kepada kita. David Hume (1711-1776) solomon(1981:127) menyebut Hume sebagai ultimate skeptic, skeptis tingkat tertinggi. Ia dibicarakan di sini sebagai seorang skeptis dan terutama sebagai seorang empirisis. Menurut Bertrand Russel, yang tidak dapat diragukan lagi Hume ialah ia seorang skeptis (solomon:127). Buku Hume, treatise of human nature (1739), ditulisnya tatkala ia masih muda, yaitu tatkala ia berumur dua puluh tahunan bagian awal. Hume mengatakan bahwa semua pengetahuan dimulai dari pengalaman indera sebagai dasar. Kesan (impression) baginya, sama dengan penginderaan (sensation) pada Locke, adalah basis penegtahuan. Selanjutnya ia menyatakan sebagai berikut ini.semua persepsi jiwa manusia terbentuk melalui daua alat yang berbeda, yaitu impression dan idea. Perbedaan kedua-duanya terletak pada tingkat kekuatan dan garisnya menuju jiwa dan jalan masuk ke kesadaran. Persepsi yang termasuk dengan kekuatan besar dan kasar saya sebut impression (kesan), dan semua sensasi, nafsu, emosi saya masukkan kedalam kategori ini begitu mereka masuk ke dalam jiwa. Herbet Spencer (1820-1903) filsafat Herbet Spencer berpusat pada teori evolusi. Sembilan tahun terbitnya karya Darwin yang terkenal, The Origen of species (1859), spencer sudah menerbitkan bukunya tentang teori evolusi. Empirismenya terlihat jelas dalam filsafatnya tentang the great unknowable. Menurut spencer, kita hanya dapat mengenali fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Spencer mengatakan,”idea-idea keilmuan pada akhirnya adalah penyajian realitas yang tidak dapat dipahami”(durant:364). Inilah yang dimaksud dengan the great unknowable, teka-teki besar. Evolusi itu juga terjadi dalam kejiwaan. Itu dilihat pada adanya perkembangan modus-modus respons. Moral juga berkembang secara evolusi. Kehidupan adalah penyesuaian terus-menerus mengenai hubungan antara dalam dan luar diri.[116]   
c.       Abad kedelapan belas memperlihatkan perkembangan baru lagi. Setelah refformasi, setelah renaissance dan setelah rasionalisme dari jaman barok, manusia sekarang dianggap “dewasa”. Periode ini dari sejarah barat disebut “jaman pencerahan” atau “fajar budi” (dalam bahasa Inggris “enlightenment”’ dalam bahasa Jerman “Aufklarung”). Filsuf-filsuf besar dari jerman dan di Inggris “emperikus-emperikus” seperti J.Locke (1711-1776). Di Perancis J.J. Rousseeau (1712-1778) dan di Jerman Immanuel Kant (1724-1804), yang menciptakan suatu sintese dari rasionalisme dan empirisme dan yang dianggap sebagai filsuf terpenting dari jaman modern.[117]   
a.       Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri. Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain-daripada-yang-lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orangtua, atau keinginan sendiri.[118]
6. PRAGMATISME (William James (1842-1910)

a.       Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Oarang-orang meenyebutkan kata itu biasanya dalam penegrtian praktis. Jika orang berkata, “rancangan ini kurang pragmatis”,maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Penegrtaian seperti itu tidak jauh dari penertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertan pragmatisme.kata pragmatisme diambil dari kata pragam (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan (encyclopedia Americana, 15:683). Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), filosof Amerika yang pertama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode filsafat (Stroh, 1968), tetapi pengertian pragmatisme telah terdapat juga pada Socrates, Aristoteles, Berkeley, dan Hume. Bila pragmatisme disangkutpautkan dengan empirisme-kiranya sangkutan itu memang besar-maka sejarah pragmatisme berarti tersebar pada banyak filosof besar lainnya, satu di antarantya tentu saja Jhone Locke. Selain itu tidak mudah membedakan pragmatisme dengan utilitarianisme. Karena kedua isme ini sama-sama menekankan kegunaan, maka pengusutan penegrtian pragmatisme seharusnya kembali kepada Jhon Stuart Mill (1806-1873), anak tokoh besar James Mill. Orang terakhir ini adalah kawan dekat Jeremy Bentham, seorang ultilitarianis. William James mengatakan bahwa secara ringkas pragmatisme adalah realitas sebagaiman yang kita ketahui. Peirce-lah yang membiasakan istilah ini dengan ungkapannya,”tentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat penegrtian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Sebenarnya istilah pragmatisme lebih banyak berarti sebagai metode untuk memperjelas suatu konsep ketimbang sebagai suatu doktrin kefilsafatan. Istilah ini mengingatkan kita akan pentingnya tindakan dan tujuan manusia dalam pengalaman, pengetahun, dan pengertian. Descrates mengatakan bahwa konsep hanya dapat muncul dari intuisi, tetapi Peirce mengatakan bahwa konsep hanya dapat muncul dari pengalaman (encyclopedia Americana, 22:515). Di dalam buku ini akan dibicarakan pragmatisme menurut William James. Penegasan ini perlu diberikan karen penggunaan kata peragmatisme kadang-kadang berbeda antara seorang tokoh dari tokoh lainnya. William James (1842-1910) adalah tokoh yang paling bertanggung jawab yang membuat pragmatisme menjadi terkenal di seluruh dunia. Lebih dari itu, ia merupakan orang Amerika pertama yang memberikan kontribusi ke dalam gelombang dahsyat pemikiran filsafat di dunia Barat. Karena terbitnya bukunya, Pragmatism (1907) dan The Meaning of Truth (1909), gerakan pragmatisme meluncur seolah-olah akan menuasai filsafat abad ke-20. James lahir di New York City pada tahaun 1842, anak Henry James, Sr. Ayahnya adalah seorang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Henry James, Sr. Merupakan kepala rumah tangga yang memang menekankan kemajuan intelektual. Ia mengembangkan anak-anaknya secara luas sedapat-dapatnya dengn kebebasan dan individualisme, dan ia pun memberikan ide-idenya serta pengalamannya yang penting kepada anaknya.[119]
b.      Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat sekitar tahun 1900. tokoh-tokoh terpenting dari pragmatisme itu Ch.S.Peirce (1839-1914), W.James (1842-1920) dan J.Dewey (1859-1914), pragmatisme mengajar bahwa ide-ide tidak benar atau salah, melainkan bahwa ide-ide dijadikan benar oleh satu tindakan tertentu. Seperti kita mengenal sebatang pohin dari buah-buahannya, demikian juga kita mengenal suatu teori atau konsep dari konsekuensi-konsekuensinya. Kalau semua akibat dari suatu teori itu baik, lalu kita boleh menarik kesimpulan bahwa teori itu baik, karena teori ini berguna. Menurut pragmatisme tidak harus dinyatakan “apa itu”, melainkan “apa gunanya” atau ”nutuk apa?.[120]

c.       Ukuran kebenaran, Dalam lingkungan yang mengarungi atau menghilangi objektifitas dari kesungguhan ini boleh juga dimasukkan pragmatisme. Walaupun pragmatisme ini biasanya dikatakan amat berkembang di Amerika, tetapi di Eropapun tak asinglah. Hans vaihinger (1852-1933) haruslah dimasukkna pada golongan penganut pragmatisme. Bagi dia tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan obyeknya tak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (Yunani: pragma-guna) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala penegrtian itu sebenarnya buatan semata-mata; jika pengertian itu berguna untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidaklah lain daripada ‘kekeliruan yang berguna’ saja. Vaihinger sendiri menyebut filsafatnya bukan pragmatisme. Hanya karena filsafatnya saja kami masukkan kepada jurusan ini. Adapun timbulnya pragmatisme yang sebenarnya ialah di U.S.A. diajukan oleh Ch.S.Peirce (1839-1914) diperkembangan dan dipaparkan lebih lanjut dan mendalam oleh Dewey (1859-1952). Di bawah ini adalah beberapa ahli pikir yang dapat dimasukkan pada golongan penganut pragmatisme: William James (1842-1910) pengertian atau putusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Putusan yang tak dapat dipergunakan itu keliru! Kebenaran itu sifat pengertian atau putusan bukanlah sifat halnya. Pengertian atau putusan itu benar, tidak saja jika terbuktikan artinya dalam keadaan jasmani ini, akan tetapi jika bertindak (dapat dipergunakan) dalam lingkungan ilmu, seni dan agam. Bukunya yang terkenal ialah pragmatism (1907). Bagi Jhon Dewey (1859-1952) tak adalah sesuatu yang tetap. Manusia itu bergerak dalam kesungguhan yang selalu berubah. Jiak ia dalam pada itu menjumpai kesulitan itu. Maka dari itu berpikir tidaklah lain daripada alat untuk bertindak. Penegrtian itu lahir dari pengalaman. Kebenarannya hanya dapat ditinjau dari berhasil tidaknya mempengaruhi kesungguhan. Dalam pendidikan Dewey banyak pengaruhnya. Demikianlah kebenaran tidak berdasarkan persesuaian antara penegtahuan dan obyek. Pengaruhnya tidak hanya di Amerika saja, melainkan meluap juga ke Eropa. Ferdinand Schiller (1864-1937) dan Georges Santayana (lahir1863) harus juga dimasukan pada golongan penganut pragmatisme ini. Tetapi amat sukar untuk memberikn sifat bagi filsuf terakhir ini karena amat banyak penagruh yang bertentangan yang dialaminya.[121]
d.      Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat.
Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978. Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Makalah ini sendiri selanjutnya akan mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan. Kehidupan John Dewey John Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan disertasi tentang filsafat Kant.
Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York.
Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.
Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916).
Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.[122]

e.       Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupa¬kan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952). Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengata¬kan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpi¬kir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialis¬me maupun Neorealisme dan Neopositivisme. Pragmatisme, tak diingkari telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme, yang telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berba¬haya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia–yakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia– sebagaimana akan diterangkan nanti. Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat menge¬lak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya, sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide) Pragmatisme, sekaligus untuk mengkonstruk ideologi dan pera¬daban Islam sebagai alternatif dari Kapitalisme yang telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia. Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekan¬kan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works). Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan Wil¬liam James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).
Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan perkem¬bangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.[123]
DAFTAR PUSTAKA


Drs.H.Ahmad Syadali.M.A,Drs.Mudzakir, 2004 Filsafat Umum, Pustaka Setia, Bandung, Lois O. Kattsoff, 1986  Pengantar Filsafat, The Ronald Press Company, New York,
Jan Hendrik Rapar, 1995  Pengantar Filsafat, Pustaka Filsafat, Tomohon,
Drs.HM.Ghozi Badrie dan Drs.Daman Hurifathah, 1993 Filsafat Umum, B.lampung
DR.Juhaya S, Praja, 1997  Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Yayasan Piara, Bandung,
Jujun S.Suriasumantri, 1995 Filsafat Ilmu, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
Dr.W.Poespopradjo, 1989 Logika Ilmu Menalar, The Ronald Pres Company, Remadja Krya CV,
Drs.H.A.Dardiri, Humaniora, 1986 Filsafat Dan Logika, Rajawali, Jakarta,
Drs.Sidi Gazalba, 1981 Sistematika Filsafat, Bulan Bintang, Bandung,
Drs.M.Baharudin, 1994 Pengantar Ke Alam Pemikiran Filsafat, Fakultas Ushuludin, Bandar Lampung,
Prof.I.R.Poedjawaijatna, 1975 Filsafat Sana-sini, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, Prof.Dr.K.Bertens,2006 Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta,
Dr. Harun Hadiwijono, 1980 Sari Filsafat Barat 1, Kanisius, Yogyakarta,
Filsafat-eka-wenats-blogspot.com
www.geocities.com
www.wordpress.com












                                                FILSAFAT UMUM


[1] Prof.Drs.H.Hasbullah Bakry S.H, Sistematika Filsafat, Widjaja, Jakarta, 1986(revisi) , Hal 24
[2] Drs.Sidi Gazalba, Pengantar Kepada Dunia Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, Hal  24
[3] Prof. R.Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda, Bandung, April 1990, Hal 10
[4] Drs.H.Ahmad Syadali.M.A,Drs.Mudzakir, Filsafat Umum, Pustaka Setia, Bandung, 2004, Hal 11
[5] Op. cit hal 1, Hal buku 12
[6] Op. cit hal 1, Hal 20
[7] Lois O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, The Ronald Press Company, New York, 1986, Hal 13
[8] Op. cit hal 1, Hal buku 16
[9] Jan Hendrik Rapar,  Pengantar Filsafat, Pustaka Filsafat, Tomohon, 1995, Hal 16
[10] Op. cit hal 1, Hal buku  39
[11] Op. cit hal 1, Hal buku 13
[12] Drs.HM.Ghozi Badrie dan Drs.Daman Hurifathah, Filsafat Umum, Bandar Lampung, 1993, Hal 10
[13] Op. cit hal 3, Hal buku 28
[14] Op. cit hal 1, Hal buku 21
[15] Op. cit hal 3, Ha buku 28
[16] DR.Juhaya S, Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Yayasan Piara, Bandung,1997, Hal 12
[17] Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, Hal 20
[18] Op. cit hal 5, Hal buku 12
[19] Op. cit hal 3, Hal buku 13
[20] Op. cit hal 3, Hal buku  21
[21] Op. cit hal 1, Hal buku  33
[22] Op. cit hal 1, Hal buku 15
[23] Op. cit hal 3, hal buku  28
[24] Op. cit hal 5, Hal buku 42
[25] Dr.W.Poespopradjo, Logika Ilmu Menalar, The Ronald Pres Company, Remadja Krya CV, 1989, Hal 14
[26] Op. cit hal 3, Hal buku 28
[27] Drs.H.A.Dardiri, Humaniora, Filsafat Dan Logika, Rajawali, Jakarta, 1986, Hal 73
[28] Op. cit hal 6, Hal  buku 50
[29] Op. cit hal 8, Hal buku 133
[30] OP. cit hal 5, Hal buku 12
[31] Op. cit hal 6, Hal  buku 55
[32] Drs.Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Bulan Bintang, Bandung, 1981, Hal 137
[33] Bernard Delfgauuw, Sejarah Ringkasan Filsafat Barat, Tiara Wacana, Yogya, 1992, Hal 133
[34] Op. cit hal 11, Hal  buku  23
[35] Op. cit hal 10. Hal  buku 84
[36] Op. cit hal 11, Hal  buku 16
[37] Op. cit hal 10, Hal  buku  44
[38] Drs.M.Baharudin, Pengantar Ke Alam Pemikiran Filsafat, Fakultas Ushuludin, Bandar   Lampung, 1994
[39] Prof.I.R.Poedjawaijatna,Filsafat Sana-sini, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1975
[40] Op. cit hal 10, Hal buku  60
[41] Op. cit hal 11, Hal  buku 19
[42] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat 1, Kanisius, Yogyakarta, 1980, hal 16
[43] Prof.I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal 23
[44] Drs. M. Baharudin, Pengantar Ke Alam Pemikiran Filsafat , Fakultas ushuludin IAIN Raden Intan,     Bandar Lampung, 1995, hal 24
[45] Drs. HM. Ghozi Badrie, Drs. Damanhuri Fattah, Filsafat Umum, Gunung Pesagi, Bandar Lampung, 1993, hal 15
[46] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1980, hal 7
[47] Prof.Dr.K.Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hal 35
[48] Prof.Dr.K.Bertens, Ibid, hal 37
[49] Prof.I.R. Poedjawijatna, Ibid, hal 23
[50] Drs. M. Baharudin, Ibid, hal 24
[51] Drs. HM. Ghozi Badrie, Drs. Damanhuri Fattah, Ibid, hal 18
[52] Mohammad Hatta, Ibid, hal 9
[53] Prof.I.R. Poedjawijatna, Ibid, hal 24
[54] Dr. Harun Hadiwijono, Ibid, 21
[55] Mohammad Hatta, Ibid, hal 15
[56] Drs. HM. Ghozi Badrie, Drs. Damanhuri Fattah, Ibid, hal 29
[57] Drs. M. Baharudin, Ibid, hal 27
[58] Drs. M. Baharudin, Ibid, hal 44
[59] Drs. HM. Ghozi Badrie, Drs. Damanhuri Fattah, Ibid, hal 81
[60] Mohammad Hatta, Ibid, hal 130
[61] Prof.Dr.K.Bertens, Ibid, hal 190
[62] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat 1, Ibid, hal 47
[63] http://m_icha l.blogs.friendster.com
[64] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat 1, Ibid, hal 36
[65] Drs. HM. Ghozi Badrie, Drs. Damanhuri Fattah, Ibid, hal 50
[66] Prof.I.R. Poedjawijatna, Ibid, hal 31
[67] Drs. M. Baharudin, Ibid, hal 41
[68] Mohammad Hatta, Ibid, hal 80
[69]http://m_icha l.blogs.friendster.com
[70] Drs. M. Baharudin, Ibid, hal 31
[71] Mohammad Hatta, Ibid, hal 24
[72] Prof.I.R. Poedjawijatna, Ibid, hal 26
[73] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat 1, Ibid, hal 25
[74] Drs. HM. Ghozi Badrie, Drs. Damanhuri Fattah, Ibid, hal 27
[75] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat 1, Ibid, hal 33
[76] Mohammad Hatta, Ibid, hal 64
[77] Drs. M. Baharudin, Ibid, hal 39
[78] Prof.Dr.K.Bertens, Ibid, hal 86
[79] Prof.I.R. Poedjawijatna, Ibid, hal 29
[80] Mohammad Hatta, Ibid, hal 66
[81] Drs. M. Baharudin, Ibid, hal 39
[82] Prof.Dr.K.Bertens, Ibid, hal 90
[83] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat 1, Ibid, hal 34
[84] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat 1, Ibid, hal 23
[85] Drs. HM. Ghozi Badrie, Drs. Damanhuri Fattah, Ibid, hal 25
[86] Prof.Dr.K.Bertens, Ibid, hal 59
[87] Mohammad Hatta, Ibid, hal 21
[88] Drs. M. Baharudin, Ibid, hal 29
[89] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat 1, Ibid, hal 38
[90] Prof.Dr.K.Bertens, Ibid, hal 117
[91] Fuad Hasan, Pengantar Filsafat Barat, Pustaka Jaya ,Jakarta, 2001, hal 29
[92] Prof.I.R. Poedjawijatna, Ibid, hal 32
[93] Drs. HM. Ghozi Badrie, Drs. Damanhuri Fattah, Ibid, hal 58
[94] http://m_icha l.blogs.friendster.com
[95] Prof.I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal 46
[96] Prof.Dr.K.Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 18
[97] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat 1, Kanisius, Yogyakarta, 1980, hal 66
[99] Filsafat-eka-wenats-blogspot.com
[100] Prof.Dr.K.Bertens, Ibid hal 22
[101] Dr. Harun Hadiwijono, Ibid hal 79
[102] Prof.I.R. Poedjawijatna, Ibid, hal 78
[105] Dr. Harun Hadiwijono, Ibid hal 104
[106] Prof.Dr.K.Bertens, Ibid hal 35
[107] Prof.I.R. Poedjawijatna, Ibid, hal 89
[108] Filsafat-eka-wenats-blogspot.com
[109] Prof.DR.Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda, Bandung, April 1990, Hal 124
[110] Drs.M.Baharudin, Pengantar Ke Alam Pemikiran Filsafat, Fakultas Ushuludin, Lampung, 1994 hal 68
[111] Fuad Hasan, Pengantar Filsafat Barat, Pustaka Jaya ,Jakarta, 2001, hal
[112] Prof.I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal 98
[113] www.ikimu.com
[114] www.geocities.com
[115] Prof.I.R. Poedjawijatna, Ibid hal 103
[116] Prof.DR.Ahmad Tafsir, Ibid hal 173
[117] Drs.M.Baharudin, Ibid hal 69
[118] www.wikipedia.com
[119] Prof.DR.Ahmad Tafsir, Ibid hal 189
[120] Drs.M.Baharudin, Ibid hal
[121] Prof.I.R. Poedjawijatna, Ibid hal 132
[122] www.geocities.com
[123] www.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

ShareThis

banner a href="http://www.justbeenpaid.com/?r=XHhV4Ln94t"> banner