MAU DUIT?!!!

Kamis, 22 Maret 2012

ZUHUD

ZUHUD





O
L
E
H

Nama          : Asep Saepudin
Npm           : 0821010008
Smt / jur      : II (dua) AS


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN BANDAR LAMPUNG
2009

MEMAHAMI MAKNA ZUHUD

Zuhud sering diartikan oleh banyak orang sebagai ungkapan atau refleksi sikap yang anti dunia bahkan menjauh dari dunia itu sendiri, sehingga menimbulkan kesan seakan-akan bahwa seseorang yang sedang belajar untuk mempunyai sikap zuhud ini harus mengosongkan diri dari segala hal yang berbau keduniawian, kesan selanjutnya bahwa ia harus menjadi seorang yang miskin, berpakaian lusuh, compang-camping, penuh tambalan dan sebagainya.
Pandangan semacam ini barangkali ada benarnya namun tidak seluruhnya, masih dalam tanda koma belum titik, mengingat banyaknya ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits-hadits Nabi yang mengingatkan bahayanya dunia dalam kehidupan manusia jika tidak disikapi dengan sebuah pandangan bahwa dunia seisinya ini adalah sekedar sarana belaka untuk mencari bekal kehidupan abadi kelak di akherat “Addunya mazra’atul akhirah” dunia adalah ladangnya akherat.  
Di dalam Al Qur’an Alloh SWT menisbatkan zuhud ini pada ulama yaitu suatu penghormatan bagi sifat ini, sepertimana dalam surat Al Qashas ayat 80 disebutkan:
” Dan berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: ”Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh ”.
Sebetulnya ayat ini masih berkaitan dengan kisah Qarun (seorang yang digambarkan Al-Qur'an sebagai orang yang amat kaya raya dan amat mencintai hartanya), Sedangkan cinta yang berlebihan pada dunia dinisbatkan oleh Al Qur’an pada  sifat orang kafir yang ingkar kepada Tuhan, dalam Surat Ibrahim ayat 3 disebutkan:
”(Yaitu) orang-orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari kehidupan akherat dan menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok ”.
Dalam kisah perjalanan Isra’ Mi’raj-nya Rasululloh SAW, diriwayatkan bahwasanya Beliau diperlihatkan oleh Alloh SWT akan seorang perempuan yang sudah tua renta dan keriput wajahnya namun berdandan menor dan mencolok sekali bagaikan gadis remaja belasan tahun yang lagi mekar-mekarnya sehingga kelihatan sangat kontras sekali.
Lalu Rasulullah SAW bertanya kepada Jibril AS yang menemani beliau ketika itu: ”Siapakah orang tua itu wahai Jibril?,
oleh Jibril dijawab: ”Itulah gambaran dunia ini, umur dunia ini sudah sedemikian lamanya sehingga tinggal menunggu masa berakhirnya saja, walaupun begitu masih banyak manusia yang tertipu oleh penampilannya yang mengundang perhatian mereka yang menyukai keindahan dhahir".
Lalu... benarkah konsep zuhud yang diajarkan oleh para sufi itu adalah zuhud dengan pengertian demikian yaitu konsep yang identik dengan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan yang berujung pada suatu keyakinan bahwa dunia itu adalah musuh bagi manusia, menghalangi manusia dari Tuhannya sehingga harus ditinggalkan demi mencapai kepuasan batin serta bisa mendekatkan diri padaNya tanpa ada penghalang yang merintangi jarak antara dia denganNya ???.
Logika awam yang normal dan sehat tentu akan menjawab "tidak".
            Bukankah Alloh SWT sewaktu pertama kali menciptakan manusia adalah ditujukan untuk menjadi khalifah pengatur didunia ini? Dan untuk menjadi seorang khalifah yang dapat mengatur dunia seisinya ini dengan baik tentu diperlukan teori-teori dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. tidak cukup dengan teori-teori yang tertulis dalam teks kitab suci, namun lebih dari itu diperlukan langkah kongrit untuk mengaplikasikan apa yang tercantum dalam teks kitab suci itu ke dalam kehidupan nyata yang membumi bukan sekedar doktrin normatif yang kaku.
Bukankah Alquran sendiri dalam surat Al A’raaf ayat 32 dengan tegas mengatakan: ”Katakanlah:Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah Swt. yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?".
Dan dalam surat Al Maidah ayat 87 dikatakan :
”Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah Swt. halalkan bagi kamu".
            Konsep zuhud dengan pengertian harus terputus dari segala hal-hal keduniawian semata, jelas bertentangan dengan konsep Al Qur’an itu sendiri walaupun disana ada beberapa ayat lain yang menerangkan kadar bahaya dari dunia tatkala tidak disikapi dengan perasaan sekedar sebagai ajang mediator untuk mencari bekal pada kehidupan abadi di akhirat nanti.
            Al-Imam Ghazali menerangkan di dalam Ihya bahwa hakekat zuhud bukanlah meninggalkan harta benda dan mengorbankannya pada jalur sosial untuk menarik perhatian manusia, itu menurut beliau hakekatnya hanyalah sebagian dari perhiasan adat, namun sama sekali tidak ada hubungannya dengan nilai ibadah, karena hal ini biasanya dimulai dengan niat mengharapkan ganti yang lebih atau karena tendensi ingin dikenal dalam suatu komunitas sosial, juga karena ingin pujian supaya dikenal sebagai seorang darmawan dan sebagainya.
            Namun orang yang zuhud itu adalah orang yang mempunyai harta benda akan tetapi dia menyikapinya dengan lapang dada walaupun dia mampu untuk menikmati hartanya itu tanpa suatu kekurangan apapun, namun dia lebih memilih bersikap waspada, hatinya tidak ikut condong ke harta, hatinya tidak terlalu terikat dengan harta, karena dia khawatir sikap condongnya itu akan membawanya cinta kepada selain Alloh Swt., dan mencintai selain dari Alloh SWT, karena dengan begitu, berarti dia telah membuat sekutu dalam cintanya itu.
Atau bisa juga dia meninggalkan dunia karena mengharap akan pahala akhirat, dia meninggalkan kenikamatan dunia karena lebih mengharap kenikmatan di Surga, makanya dia lebih memilih apa yang dijanjikan di surga dengan perasaan lapang tanpa sedikitpun merasa khawatir akan kenikmatan dunia.
Dalam agama Islam, zuhud merupakan inti dari ajaran tasawuf. Pemahaman zuhud bukanlah hidup membenci dunia dan mengisolir diri dari keramaian dengan mengabaikan kewajiban menafkahi keluarga. Zuhud bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan pula dengan membuang harta. Zuhud dalam pengertian yang benar adalah menekan hasrat dan menjauhkan diri dari kesenangan dunia untuk mencapai kesenangan akherat. Zuhud terhadap dunia berarti lebih yakin dan percaya apa yang ada di tangan Allah dari pada apa yang ada di tangan manusia.
Sikap zuhud dapat memberikan ketenangan kepada seseorang. Ia adalah benteng dari sikap sombong, kikir, serakah dan bermewah-mewahan. Kehancuran seseorang dan bahkan sebuah bangsa dicirikan dengan keempat sikap di atas.
Bagaimana caranya agar kita bisa zuhud? Imam Al-Ghazali memberikan tiga tips. Pertama, memaksa diri untuk mengendalikan hawa nafsunya. Kedua, sukarela meninggalkan pesona dunia karena dipandang kurang penting. Ketiga, tidak merasakan zuhud sebagai beban, karena dunia dipandang bukan apa-apa bagi dirinya.
Sementara itu, Ibrahim bin Adham pernah ditanya seorang lelaki, “Bagaimana cara engkau mencapai derajat orang zuhud?” Ibrahim menjawab,”Dengan tiga hal, pertama, aku melihat kuburan itu sunyi dan menakutkan, sedang aku tidak menemukan orang yang dapat menentramkan hatiku di sana. Kedua, aku melihat perjalanan hidup menuju akherat itu amat jauh, sedang aku tidak memiliki cukup bekal. Ketiga, aku melihat Rabb Yang Maha Kuasa menetapkan satu keputusan atasku, sedang aku tidak punya alasan untuk menolak keputusan itu.” (Abu Ishak Ibrahim bin Adham Al Balkhi)
Sulit? Tentu kita tidak akan mengetahuinya kalau tidak mencobanya.
Hakikat Perilaku Zuhud

Perawi hadis Ibnu Majah mengisahkan, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ''Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu perbuatan yang jika aku lakukan, maka aku akan dicintai oleh Allah dan juga oleh manusia.''
Rasulullah menjawab, ''Berlaku zuhud-lah kamu terhadap kenikmatan dunia niscaya kamu akan dicintai Allah, dan berlaku zuhud-lah kamu di tengah manusia niscaya kamu akan dicintai oleh mereka.'' Hadis di atas mengisyaratkan suatu perilaku yang dapat mengantarkan seseorang meraih cinta Allah SWT dan manusia. Perilaku itu adalah zuhud. Secara etimologi, zuhud adalah menjauhkan diri dari sesuatu karena menganggap hina dan tidak bernilai. Bagi para sufi, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang lebih dari kebutuhan hidup walaupun sudah jelas kehalalannya.
Berlaku zuhud tidak berarti berdiam diri dan tidak melakukan usaha apa pun untuk mendapatkan rezeki yang halal. Zuhud bukan sikap malas. Seorang zahid (orang yang zuhud) sama sekali tidak identik dengan orang fakir yang tidak mempunyai harta apa pun. Seorang zahid adalah orang yang mendapatkan kenikmatan dunia tetapi tidak memalingkan dirinya dari ibadah kepada Allah. Ia tidak diperbudak dunia dengan segala kenikmatannya, dan mampu menahan diri untuk tetap berada di jalan yang diridhai Allah.
Zuhud adalah perbuatan hati (af'al al-qulub). Seorang zahid, dalam hatinya tumbuh keyakinan bahwa apa yang ada dalam genggaman Allah lebih bernilai daripada yang ada dalam genggaman manusia. Ia yakin Allah adalah al-razzaq, penjamin rezeki semua makhluk. Imam Husain bin Ali berkata, ''Salah satu ciri lemahnya iman seseorang adalah menganggap bahwa yang ada pada manusia lebih bernilai daripada yang ada pada Allah.''
Perilaku zuhud juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Zuhud dalam bermasyarakat adalah dengan menjauhkan diri dari segala bentuk kejahatan sosial yang dapat merusak keharmonisan hidup bermasyarakat seperti menggunjing, mengadu domba, berjudi, dan mengonsumsi narkotika, psikotropika, dan barang terlarang lainnya.
Dalam bermasyarakat, seorang zahid mampu menahan diri untuk tidak mengambil hak milik orang lain dengan cara yang dilarang oleh agama. Allah SWT berfirman, ''Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.'' (QS. 2: 188).
Seorang zahid tidak akan dengki terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Ia sadar, perbedaan nikmat yang diberikan Allah kepada manusia adalah ujian bagi ketaatannya kepada Allah. Rasulullah SAW memerintahkan setiap Muslim untuk menjauhi sifat dengki karena dapat menghapus semua pahala kebaikan seperti api melalap kayu bakar. (HR Abu Daud).
Setiap Muslim hendaknya mampu menanamkan zuhud dalam hidupnya agar mampu menyikapi kenikmatan dunia searif mungkin dan mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama manusia.
 Muhammad Irfan Helmy

0 komentar:

Posting Komentar

ShareThis

banner a href="http://www.justbeenpaid.com/?r=XHhV4Ln94t"> banner