MAU DUIT?!!!

Jumat, 23 Maret 2012

pilsafat hukum islam


KEWAJIBAN HUKUM Dan
KEMAMPUAN MANUSIA



Tugas makalah Filsafat Hukum Islam
Makalah dipresentasikan dalam diskusi kelas
Dengan Dosen Pembimbing: Sucipto, S.Ag







Oleh:
Nama          :Nurul Mukarromah
NPM           :0821010007  
Smt             :II





JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
2009





KATA PENGANTAR

            Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Puji syukurkita panjatkan atas kehadirat Allah SWT Yang Maha esa yang mana rahmat-Nya kami semua bisa mengerjakan tugas ini dengan baik, walaupun di dalamnya masih terdapat kasalahan atau kekeliruan, karena kami sadar tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
            Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan pada Nabi kita Muhammad SAW. Yang mana telah membawa kita dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang yakni Ad-Din Al-Islam.
            Tak lupa kami ucapakan banyak terimakasih kepada bapak Sucipto, S.Ag yang telah memberikan kesempatan kepada kami semua untuk mengerjakan tugas makalah ini.
            Dan juga kami ucapkan terimakasih pula kepada teman-teman dan juga yang telah ikut membantu kami dalam mengerjakan dan menyelesaikan tugas ini. Akhirnya kami berharap agar makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya, dan bagi pemakalah sendiri khususnya. Aminnn…




B. Lampung, 10 Mei 2009


               penulis







DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A.     QUDRAH
B.     MASYAQQAH
C.     AL-MASYAQQAT AL-IKHTIYARIYYAH
D.    AL-MASYAQQAT AL-IDHTIRARIYYAH
E.     AL-MASYAQQAT AL-KHARIJAH
F.      ARTI DAN  DASAR MAQASHID AL-SYARI’AH dan MAQASIH AL-SYARI’AH MERUPAKAN PENDEKATAN FILSAFAT DALAM HUKUM Islam
DAFTAR PUSTAKA















BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Untuk menganalisis dan mempelajari apa itu kewajiban hokum dan kemampuan manusia , disini pemakalah mencoba untuk sedikit menguraikannya.

B.     Rumusan Masalah
Untuk mencegah agar isi materi tidak menjabar lebih jauh, pemakalah memberi batasan masalah , yakni sebagai berikut:
1)      Apa itu Qudrah?
2)      Apa itu Masyaqqah?
3)      Apa itu Al-Masyaqqat Al- Ikhtiyariyyah?
4)      Apa itu Al-Masyaqqat Al-Idhtirariyyah?
5)      Apa itu Al-MAsyaqqat Al-Kharijah?
6)      Apa itu Maqasid Al-Syari’ah? Dan apakah Maqashid Al-Syari’ah merupakan pendekatan dalam hokum Islam?














BAB II
PEMBAHASAN

A. QUDRAH
            Untuk mendefinisikan qudrah, syathibi menganalisis apa yang dipandang ghayr maqdur (sesuatu yang berada diluar kemampuan manusia untuk melakukannya) dalam ushul.syathibi menyatakan bhawa istilah ghayr maqdur bias digunakan dalam empat pengertian. Pertama,ia bias merujuk kepada kewajiban-kewajiban yang tak mungkin dipenuhi (ma la yuthaq), sebab kewajiban-kewajiban tersebut berada diluar kemampuan manusia,seperti misalnya tuntutan untuk berhenti minum.
            Pengertian kedua istilah ghayr maqdur merujuk kepada kewajiban-kewajiban yang tidak bias dipenuhikarena alas an-alasan berikut:
a.       dimana kewjiban tersebut menyangkut perbuatan yang bergantung pada pernuatan lain dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan yang disebut belakangan menjadi sarana untuk mewujudkan perbuatan yang disebut pertama.
b.      Dimana suatu perbuatan terjadi sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan dari suatu perbuatan tertentu yang lain.
Dua pengertian lain yang berkaitan dengan istilah ghayr maqdur adalah masyaqqah (kesulitan) dan hazraj(kesukaran. Syathibi menekankan bahwa masaqqah dan hazraj bukanlah ghayr maqdur.dia menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa kewajiban-kewajiban hokum dalam syari’ah berkaitan dengan masyaqqah dan hazraj, tapi tidak dengan pengertian pertama dan kedua ghayr maqdur yang dikemukaakn diatas dank arena syari’ah bukanlah ma la yuthaq, maka masyaqqah dan haraj bukanlah ghayr maqdur.
Syathibi tidak mengingkari kenyataan bahwa dalam syari’ah terdapat kesempatan-kesempatan dimana suatu perintah nampaknya diarahkan pada suatu perbuatan ghayr maqdur tertentu, namun ia menyatakan bahwa pemeriksaan yang cermat mengungkapkan bahwa kewajiban tersebut sesungguhnya tidak berkaitan dengan perbuatan ghayr maqdur.
 Syathibi menyimpulkan bahwa meskipun suatu perbuatan tidak menjadi objek kewajiban, ia masih bias memperoleh pahala. Juga bahwa kebiasaan memperoleh pahala tidaklah menjadikan suatu perbuatan sebagai objek kewajiban. Dengan demikian, suatu perbuatan ghayr maqdur bias dikehendaki atau diberi pahala, tapi tak berarti bahwa ia wajib. Untuk menjadi wajib, suatu  perbuatan haruslah maqdur.
Dari sini syathibi beranjak kepada analisis tentang masyaqqah dan haraj yang, demikian dikatakannya, tidak bisa disamakan dengan ghayr maqdur dalam pengertian-pengertian yang telah dibahas sejauh ini. Masyaqqah dan haraj menjadikan suatu perbuatan sulit dan sukar, namun bisa menjadi  objek kewajiban.tetapi Syathibi menekankan bahwa perbuatan yang bersifat masyaqqah dan haraj bias menjadi objek kewajiban, namun masyaqqah dan haraj itu sendiri bukanlah tujuan kewajiban.

B.  MASYAQQAH
Secara harfiah, sy-a-q seperti dalam kalimat syaqqa ‘alayya al-syay’(hal itu menjadi sulit bagi saya). Menunjukkan sesuatu yang “ melelahkan” dan “sukar”. Al-Qur’an mengatakan; “ kamu tidak akan mencapainya kecuali dengan kesukaran besar atas dirimu (bi syiqq al-anfus)(QS. Al-ISra’. 17:7). Arti ini dalam pengertian yang mutlak-tanpa merujuk pada makna konvensional (wadh’iy)-nya dalam penggunaan bahasa Arab- memperoleh lima pengertian yang khusus (ishthilahiyah). Kelima pengertian ini, dalam kenyatannya, bersumber dari tiga pengertian; (1) dari pengertian harfiah umum kata masyaqqah, (2)dari sudut pandang ‘adah (adat kebiasaan).(3)dari konsep taklif itu sendiri. Ketiga sudut pandang ini memberikan lima arti masyaqqah sebagai berikut:
1.      Pertama, dalam pengertian yang sangat umum, masyaqqah berlaku pada semua arti “ kerja keras” atau “kesukaran” tanpa memandang apakah ia maqdur atau tidak, bersifat kiasan atau nyata. Dalam pengertian inilah taklif ma la yuthaq disebut masyaqqah, sebab untuk bisa melaksanakan perintah yang dianggap ma la yuthaq orang menempatkan dirinya dalam kesukaran yang sia-sia.
2.      Masyaqqah diterapkan pada perbuatan-perbuatan ynag bukan mu’tad(lazim). Artinya, melaksanakan perbuatan-perbuatan tersebut lazimnya akan mendatangkan kesulitan diri sendiri.
3.      Jika Pengertian yang kedua menyangkut perbuatan-perbuatan khusus, sedang pengertian yang ketiga meyangkut keseluruhan perbuatan.  
4.      Kesukaran suatu perbuatan tidak timbul karena ia berlawanan dengan ‘adah, melainkan karena ia merupakan tambahan pada ‘adah. Dengan perkataan lain, menurut kalaziman, pekerjaan tersebut bukanlah masyaqqah, tapi ia menjadi masyaqqah karena oaring diwajibkan mengerjakannya. Ia jugamenjadi masyaqqah karena ia menciptakan tanggungjawab disamping pekerjaan yang dituntut oleh kehidupan dunia ini.
5.      Pada pengertian kelima ini mendapat kesulitan tambahan, unsure tambahan tersebut muncul karena taklif mengharuskan orang menentang (mukhalafah) keinginan-keinginannya sendiri dan ia membawakan kerja keras dan kesukaran, karena kesukaran Nampak jelas terlihat dalam praktek-praktek lazim yang dominan.   
Syathibi menjelaskan bahwa taklif bisa diarahkan kepada mukallaf dengan dua aspek:
1.      Pertama karena taklif adalah masyaqqah dan kedua karena ada mashlahah(kebaikan) langsung atau segera muncul yang akan dicapai oleh si mukallaf.
2.      Kedua adalah bahwa syari’ mengetahui apa itu taklif dan apa konsekuensinya, dan karena diketahui bahwa setiap taklif pasti menimbulkan masyaqqah, maka dengan sendirinya syari’ mengetahui bahwa suatu taklif tentu menimbulkan masyaqqah, karenanya, terbukti bahwa dengan membebankan taklif, syari’ juga bertujuan menentukan masyaqqah.
Katakanlah bahwa meniatkan masyaqqah ketika membebankan taklif, haruskah seorang mukallaf meniatkan masyaqqah ketika melaksanakan kewajibannya ataukah tidak?
Jawaban umum Syathibi adalah “tidak “. Mukallaf tidak boleh meniatkan masyaqqah karena niat mukallaf harus sesuai dengan niat syari’. Konsekuensinya, niat mukallaf harus dipusatkan pada perbuatan, bukannya pada masyaqqah.
Berikutnya adalah kategori perbuatan yang diperbolehkan. Perbuatan seperti ini harus dipandang dalam kaitannya dengan masyaqqah apakah masyaqqah ini bersifat ikhtiyari (berdasarkan pilihan manusia sendiri)atau idhthirari (yang dibebankan kepada manusia bukan berdasarkan pilihannya). Hal lain yang harus dipertimbangkan mengenai masyaqqah adalah apakah ia disebut dalam ‘adah atau tidak, atau apakah ia berada di luar semua pertimbangan seperti itu. Secara sederhana, kita bisamembagi pembahasan Syathibi mengenai masyaqqah dalam tiga kategori berikut:
1.      Ikhtiyari, di mana si mukallaf bertujuan pada masyaqqah dengan kehendaknya sendiri
2.      Idhthirari, dimana masyaqqah merupakan konsekuensinya tak terhindarkan dari perbuatan tertentu.
3.      Kharij dimana masyaqqah tidak termasuk dalam salah satu yang tersebut diatas, melainkan menimpa si mukallaf tanpa mamiliki kaitan apa pun dengan keduanya.

C.AL-MASYAQQAT AL-IKHTIYARIYYAH
Al-masyaqqat al- ikhtiyariyah menurut Syathibi adalah tercela. Akan tetapi,ada satu hal dimana orang bisa menyatakan bahwa seorang mukallaf boleh menghendaki masyaqqah untuk menambah pahalanya berdasarkan asumsi bahwa pahala meningkat dengan kesulitan yang dialami.
Syathibi menolak penalaan ini. Pertama,karena menurutnya keseluruhan kepedulian taklif adalah pada perbuatan (‘amal) dan itu pula yang menjadi tuuan sayri’. Karena itu perbuatanlah, dan bukan masyaqqah, yang meningkatkan pahala.
Kedua, perbuatan tergantung pada niat. Karena  itu, niat si pelaku harus sejalan dengan kehendak Syari’ agar dapat menghasilkan perbuatan yang dikehendaki oleh Syari’. Mencari masyaqah dalam hal ini akan melanggar kehendak syari. Pelanggaran in tidak bisa memperoleh pahala.
Bertentangan dengan pandangan syathibi, sejumlah besar hadist dikutip, yang menyatakan bahwa pahala berkaitan dengan kesulitan perbuatan yang dilakukan, dan bahwa besar kesulitan, makin besar pula pahalanya.
Bukti kedua yang diajukan untuk menentang Syathibi adalah situasi arbab al-ahwal (kaum sufi) yang berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan ‘azhimah dan kesulitan dalam rangka menolak rukhsah.syathibi mengabaikan bukti-bukti ini dengan alas an-alasan berikut:
1.      Semua riwayat seperti itu adalah al-khabar al-ahad dan hanya berkaitan dengan satu masalah .
2.      Dalam analisis akhir, hadist-hadist tersebut tidak membuktikan dikehendakinya masyaqqah,
3.      Dilain pihak terdapat hadist-hadist dimana Nabi mencela orang-orang yang kesulitan
4.      Mengenai arbab al-ahwal, bahkan dalam kasus mereka, tidaklah benar jika dikatakan bahwa mereka hanya bermaksud menghasilkan masyaqqah saja
Haraj adalah perbuatan yang menyebabkan ritanagn dalam memenuhi huzhuzh(perimbangan kepentingan). Para arbab al-ahwal lebih mengutamakan meninggalkan huzhuzh mereka demi mngutamakan kewajiban mereka kepada Tuhan, dikarenakan rasa takut atau cinta kepadaNya.

D.AL-MASYAQQAT AL-IDHTIRARIYYAH
            Secara umum masyaqqat bisa dilihat dengan tiga cara. Pertama, kesulitan yang telah menjadi bagian dari  kehidupan sehari-hari. Kedua, ada jenis kesulitan ynang tidak bersifat sebagaimana lazim.
            Apa yang menyangkut kategori idhtirari sesungguhnya adalah jenis masyaqqah yang ketiga. Jenis ini biasanya merupakan akibat yang tak terelakkan dari perbuatan tertentu, dalam hal ini disebut haraj. Atau ia dating dari luar, bukan dari pilihan si mmukallaf sendiri, tidak pula merupakan  akibat dari perbuatannya. Dengan demikian kategori idhthirari berhubungan dengan perbuatan-perbuatan haraj.mengenai perbuatan kharaj, pandangan dasar Syathibi adalah bahwa perbuatan tersebut batal jika ia menjadi rintangan dalam emmenuhi kewajiban pokok.
            Menurut Syathibi, haraj dibatalkan dalam dua kasus:
1.      Petama, dimana orang takut terputus jalan (al-khawf min al-inqitha’an al-thariq). Artinya ketidakmudahan dalam melaksanakan perbuatan tertentu menimbulkan kebencian terhadap perbuatan tersebut atau menimbulkan ketidak sukaan terhadap kewajiban, maka ketidak mudahan tersebut disebut haraj dan bisa dibatalkan.
2.      Kedua, apabila timbul rasa takut akan ketidakmampuan memenuhi kewajiban, atau paling tidak menekala keasyikan dalam satu perbuatan  bertabrakan dengan kewajiban-kewajiban yang lain atau mengakibatkan diabaikannya kewajiban-kewajiban yang lain.
Syathibi menyimpulkan:” ringkasnya, larangan yang didasarkan pada suatu ‘illah yang bisa dipahami adalah maqshud dari Syari’….karena hal ini benar, maka larangan bergantung pada adanya ‘illah, baik bagi pengukuhan maupun penafiannya.”
            Syathibi menjelaskan pandangannya dengan membuat perbedaan antara dua jenis manusia:
1.      Arbab al-huzhuzh, yaitu orang-orang ynag bagi mereka melaksanakan perbuatan tertentu menyebabkan kesulitan yang tidak lazim, atau yang bagi mereka tidak ada kemudahan syar’iy berarti mengandung kerugian.
2.      Ahl isqath al-huzhuzh, yaitu orang-orang yang bagi mereka perbuatan-perbuatan seperti itu tidak mendatangkan keletihan dan kesul,itan dikarenakan perbuatan-pebuatan mereka dikendalikan oleh rasa takut, harap dan cinta. Rasa takut menjadikan kesulitan terasa lebih ringan, harapan membuat beratnya amalan menjadi berkurang,dan cinta  menjadikan amalan lebih mendatangkan kenikmatan.

E.AL-MASYAQQAT AL-KHARIJAH
            Ada kategori masyaqqah mketiga tentang mukallaf dari luar, masyaqqah ini tidak dikehendaki oleh mukallaf dan tidak pula merupakan akibat dari tindakannya sendiri. Masyaqqah merupakan bagian yang musti, atau konsekuensi dari kehendak atau perbuatan mukallaf.dalam kategori yang sekarang ini,masyaqqah bersifat khariji (eksternal) terhadap kehendak perbuatannya.   
            Syathibi mengemukakan sifat wajib dari tuntutan untuk membuang masyaqqah berbeda dalam dua jenis al-masyaqqat al-kharijah. Yang pertama, adalah jenis dimana sifat wajib dari pembuangan masyaqqah itu terbukti, seperti dalam kasus serangan terhadp kaum muslimin dengan tujuan menghancurkan Islam. Kedua,al-mayaqqat al-kharijah misalnya penyakit yang tak bisa disembuhkan, maka penghilangannya bukanlah secara terbahtah dituntut.
            Syathibi meringkas pembahasan tentang taklif dalam kaitannya dengan masyaqqqah dengan tiga kesimpulan :
1.      Apabila ada pertentangan antara dua kewajiban untuk menghilangkan dua masyaqqah, maka menghilangkan masyaqqah yang ‘ammah lebih utama daripada masyaqqah al-khashshah.
2.      Masyaqqah bisa bercorak mu’tadah atau kharijah ‘an al-mu’tad. Dalm hal masyaqqah mu’tadah, penghilangannya tidakla dikehendaki oleh syari’ sebgaimana halnya pemaksaanya juga tidak dikehendaki. Dihilangkan masyaqqah ini berarti pemutusan taklif.
3.      Syari’ah, sesuai dengan tuntutan-tuntutannya, secara persis mengikuti jalan tengah dalam kewajiban-kewajibannya, dengan mengambil kedua sisi secara sama. Kepatuhan kepadca hokum termasuk dalam kemampuan manusia tanpa memastukan sesuatu masyaqqah ataupun kelonggaran.

F. ARTI DAN  DASAR MAQASHID AL-SYARI’AH dan MAQASIH AL-SYARI’AH MERUPAKAN PENDEKATAN FILSAFAT DALAM HUKUM ISLAM
            -- Secara lughawi (bahasa), maqashid al-syri’ah terdiridari dua kata, yakni maqashid dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk jama’ dari qashdu yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara bahasa berarti (                               )                                                 yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber    
Pokok kehidupan.
            Keterkaitan kandmungan makna antara syari’ah dan air dalam arti keterkaitan antara cara dan tujuan. Sesuatu yang hendak dituju tentu nerupakan sesuatu yang amat penting. Syari’ah adalah cara atau jalan. Adalah suatu yang hendak di tuju. Pengaiotan syari’at dengan air   dalam arti bahasa ini tampaknya dimaksudkan untuk memberikan penekanan pentinganya syari’ah dalam memperoleh sesuatu yang penting yang disimbolkan dengan air. Penyimbolan ini sangay tepat karena air merupakan unsure yang penting dalam kehidupan .urgensi unsure air ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firmanNya “ Dan Kami jadikan segala sesuatu dari air” (                                               ).

Syatout dan Sayis diatas yang pada intinya bahwa syari’ah adalah seperangkat hokum-hukum Tuhan yang diberikan kepada umat manusia untuk mendapatkan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat.
            -- Istilah pendekatan filsafat dalam hokum islam atau filsafat hokum Islam, dipakai dengan sangat hati-hati oleh para ahli hokum Islam. Hal ini disebabkan karena tidak ditemukannya kata falsafah dalam sumber-sumber hokum Islam. Kata falsafah(            ) dalam bahasa Arab diserap dari bahasa yunani. Seperti diketahui kata itu terdiri dari duakata philo yang berarti cinta, shopia berarti kebijaksanaan. Walaupaun kata filsafat tidak ditemukan dalam sumber ajaran Islam, namun padanan maknanya menurut para ahli adalah kata hikmah.
            Dengan menjadikan kata hikmah sebagai padanan kata falsafah, dan dengan menyatakan bahwa muatan kata hikmah itu adalah juga pemahaman rahasia-rahasia syariat atau tujuan pensyariatan hokum, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan dan pertimbangan maqashid al-syari’ah merupakan pendekatan filsafata dalam Islam.
            Pemikiran hokum al-syathibi, termasuk didalamnya konsep maqashid  al-syari’ah sebagai pendekatan  filsafat hokum dalam Islam ditegaskan oleh Muhammad Abduh.  Bahwa menurut Abduh pemikiran al-Syathibi merupakan upaya pengembangan aspek-aspek filsafat hokum dalam Islam.
            Perbedaan pendekatan filsafat dalam hokum Islam dengan filsafat pada umumnya terletak pada perbedaan substansi hokum itu sendiri. Hokum Islam atau syari’ah merupakan hokum wahyu. Sedangkan hokum pada umumnya adalah hasil pemikiran \manusia semata.  Oleh karena itu filsafat hokum dalam Islam adaalh upaya pemikiran manusia secara maksimal memahami rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan pensyariatan hokum Tuhan, dengan tidak meragukan substansi hokum itu sendiri sebagaimana pendekatan filsafat hokum pada umumnya.
             





DAFTAR PUSTAKA

Asafri Jaya Bakri. 1996. Konsep Maqashid Syari’ah. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Muhammad Kholid. 1996. Filsafat Hukum Islam. Bandung: penerbit Pustaka


0 komentar:

Posting Komentar

ShareThis

banner a href="http://www.justbeenpaid.com/?r=XHhV4Ln94t"> banner